Setelah gempa Aceh 2004, Kerry dan Danny kembali mengingatkan ancaman megathrust di segmen Siberut. Namun, kali ini gempa berkekuatan 8,7 skala Richter terjadi di Nias pada 28 Maret 2005. Gempa disusul tsunami itu menewaskan ratusan orang di Nias.
Gempa berikutnya juga terjadi di Busur Sunda, tetapi lagi-lagi tidak di segmen Mentawai. Pada 17 Juli 2006, gempa berkekuatan 7,7 skala Richter yang memicu tsunami melanda Pangandaran, Jawa Barat. Sebanyak 730 orang yang tinggal di pesisir selatan Jawa tewas.
Baru pada 12 September 2007, terjadi gempa berkekuatan 8,4 skala Richter di sekitar Pulau Mentawai di kedalaman 20-30 km. Namun, bagi Danny dan Kerry, ancaman dari rentetan gempa di segmen itu belum berakhir. Gempa raksasa yang ”berdiam” sejak terakhir ”bangun” tahun 1797 dan 1833 belum sepenuhnya terusik.
Gempa pada September 2007 itu dinilai hanya di pinggiran zona subduksi Mentawai. Diyakini, gempa besar yang disusul tsunami masih mengancam Padang. Apalagi, kemudian terjadi gempa berkekuatan 7,2 skala Richter yang mengguncang Kepulauan Mentawai pada Senin, 25 Oktober 2010. Gempa itu berlokasi lebih ke utara dari pusat gempa pada September 2007. Pusat gempa itu lebih dekat ke kuncian raksasa Mentawai.
Kerry yang belakangan bekerja di Earth of Observatory Singapore (EOS) juga meyakini, gempa di megathrust Mentawai kian dekat. ”Belum ada perkiraan gempa bumi raksasa yang lebih akurat daripada ini,” kata Kerry dalam wawancara di National Geographic edisi Juli 2012. ”Kami memperkirakan, terjadi gempa berkekuatan 8,8 dalam 30 tahun mendatang. Tak ada yang bisa memastikan, apakah itu akan terjadi 30 detik atau 30 bulan lagi. Namun, dapat dikatakan, gempa itu kemungkinan besar terjadi dalam waktu 30 tahun ini.”
Bisa di mana saja
Namun, bagi Eko Yulianto, ahli paleo-tsunami dari LIPI, Mentawai dan Kota Padang disebut rentan tsunami karena data riset di sana terlengkap. Selain Mentawai, tak ada data lengkap terkait sejarah gempa dan tsunami yang dimiliki wilayah lain di Indonesia. Akibatnya, perilaku gempa dan tsunami di wilayah lain tak diketahui. ”Bisa saja tsunami berikut justru di jalur subduksi lain, seperti utara Sulawesi, selatan Jawa, selatan Nusa Tenggara, Maluku, Bali-Nusa Tenggara, atau tempat lain,” katanya.
Bagi Irwan Meilano, gempa besar berikutnya bisa terjadi di mana saja di zona subduksi yang mengepung Indonesia ini. ”Di Jepang, segmen yang sebelumnya dianggap dibagi dalam tiga bagian kecil bisa robek dalam waktu bersamaan. Hal itu juga bisa terjadi di segmen subduksi di Indonesia,” katanya.
Sebagai contoh, segmen gempa di selatan Jawa sebelumnya dibagi tiga segmen, yaitu Selat Sunda, Jawa Barat-Jawa Tengah, dan Jawa Timur-Bali, yang masing-masing bisa menghasilkan gempa hingga berkekuatan 8,4. ”Itu bisa berubah, bisa saja ketiga segmen runtuh bersamaan. Harus diakui, pemahaman kita tentang sumber gempa belum sangat terperinci,” ujarnya.
Belum lagi, kawasan timur Indonesia yang minim riset dasar. ”Banyak zona gelap yang belum kita pahami,” kata Irwan.
Padahal, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 1629-2014, Indonesia dilanda sedikitnya 174 tsunami. Sebanyak 60 persen di kawasan Indonesia timur. Artinya, kawasan Indonesia timur lebih rentan terdampak tsunami karena tatanan lempeng tektonik rumit dan aktif. (AHMAD ARIF)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.