Memasang "Sarung Penangkal HIV" pada Aplikasi Kencan

Kompas.com - 12/09/2014, 09:56 WIB

KOMPAS.com
 — Di sofa pojok sebuah kedai Starbucks di Jakarta, sambil menyeruput double shot iced shaken espresso, Andy membuka aplikasi kencan Grindr. Jemarinya lincah naik turun di atas layar tablet. Ia lalu "mengetuk" beberapa foto pria dan mulai menyapa, "hai".

Membuka Grindr sambil nge-bucks, itulah salah satu rutinitas Andy di kala senggang. Dengan aplikasi berbasis geolokasi ini, Andy—dan setiap gay—bisa mengetahui gay yang ada di sekitarnya, lengkap dengan profil berisi foto, tinggi badan, hingga ketertarikan.

Diluncurkan pada tahun 2008, aplikasi kencan pertama di dunia itu segera menjadi tren di Nusantara dan negara Asia Tenggara lainnya. Dalam surat elektronik kepada Kompas.com beberapa waktu lalu, pihak Grindr menyatakan memiliki 23.966 pengguna aktif setiap bulannya di seluruh Indonesia. Sementara itu, di Thailand, mereka punya 91.940. Selain Grindr, aplikasi JackD juga populer di Tanah Air.

Belakangan, Grindr dan aplikasi serupa dianggap sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka punya dampak positif karena memungkinkan para gay terhubung di tengah dunia yang kadang mengutuknya. Di sisi lain, Grindr dianggap bisa memicu epidemi, termasuk HIV.

Publikasi pada jurnal Sexually Transmitted Infection pada Juni 2014 mengungkap bahwa di Amerika Serikat, aplikasi kencan terbukti berkaitan dengan infeksi raja singa dan chlamydia. Untuk HIV, belum terbukti.

Namun, di Hongkong, Panda Cheung Yin-mei, aktivis HIV/AIDS dari AIDS Concern, mengatakan pada Gay Star News, 11 September 2012, Grindr diduga ikut memicu peningkatan infeksi HIV. Dari April hingga Juni 2012, ada 131 kasus baru HIV di Hongkong dan 65 di antaranya dari kalangan gay.

Kekhawatiran yang sama juga ada di Indonesia. Kekhawatiran itu bisa dipahami sebab kesadaran kesehatan di kalangan lelaki seks lelaki (LSL) memang masih rendah. Itu bisa dilihat dari pemakaian kondom dalam berhubungan seksual.

Andy, misalnya, masih sering berhubungan tanpa pengaman. "Saya lakukan dengan orang yang saya suka. Kalau dia kelihatan sehat, saya mau," ungkapnya. Sehat baginya cukup punya penampilan dan berkulit bersih serta tak punya bintik aneh di kelamin.

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Kementerian Kesehatan tahun 2011 sendiri mengungkap, persentase penggunaan kondom dalam seks anal reseptif (menerima) dan insertif (melakukan) hanya 21 dan 23 persen. LSL yang punya pengetahuan komprehensif tentang HIV cuma 26 persen.

Menurut data yang dirilis UNAIDS pada tahun 2013, pemakaian kondom secara konsisten di kalangan LSL di Jakarta hanya 25 persen. Di Bandung lebih parah, hanya 6 persen, terendah di seluruh kota-kota Asia Pasifik yang disurvei oleh UNAIDS.

UNAIDS Hasil survei penggunaan kondom secara konsisten di beberapa negara dan kota di Asia Pasifik.

Sementara itu, peningkatan infeksi HIV di kalangan LSL meroket. Data di Indonesia menunjukkan, pada tahun 2007, persentase penderita HIV dari kalangan gay adalah 6 persen dari total laki-laki penderita HIV. Tahun 2013, persentasenya meningkat pesat menjadi 27 persen.

Menurut data Red Cross Thailand pada tahun 2014, kini dari 8.000-10.000 infeksi baru HIV setiap tahunnya, 40 persen berasal dari kalangan gay. Padahal, pada 5-10 tahun lalu, persentase infeksi pada kalangan gay di Thailand hanya 10 persen.

Nittaya Phanumpak, aktivis HIV dari Red Cross Thailand, mengatakan lewat e-mail, pada 7 Juli 2014, Grindr mungkin saja berperan dalam peningkatan infeksi HIV di kalangan LSL. Namun, ia juga memandang bahwa Grindr pun punya potensi untuk dimanfaatkan oleh pemerintah ataupun LSM.

"Kita bisa melihat aplikasi ini sebagai channel baru. Ini inovatif," katanya saat diwawancara lewat surat elektronik. Lewat aplikasi tersebut, edukasi bisa dilakukan. Demikian pula ajakan untuk melakukan konseling dan tes HIV.

Red Cross bekerja sama dengan LSM Rainbow Sky di Thailand dan lima klinik. Mereka memasang iklan di aplikasi Grindr. Isinya, edukasi tentang HIV/AIDS dan peringatan untuk selalu melakukan seks aman.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau