Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Drone", Terbang di Saat Perang dan Damai

Kompas.com - 11/08/2014, 16:52 WIB

Pengendalinya bisa di mana saja, di darat, pesawat lain, atau kapal laut. Bahkan, pengendali dan pesawat nirawak yang dioperasikan bisa berbeda benua.

Kepala Program Pesawat Udara Nirawak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Joko Purwono mengatakan, komunikasi antara pengendali dan pesawat bisa langsung jika jarak kurang dari 120 kilometer. Akibat masalah lengkung Bumi, untuk jarak lebih jauh, komunikasi dan pengiriman data langsung atau daring antara pesawat dan pengendali harus dibantu satelit.

”Tanpa bantuan satelit, pesawat hanya bisa merekam data, tak bisa mengirim langsung,” kata dia. Meski dilengkapi sistem dan peralatan canggih, pesawat nirawak butuh manusia untuk fungsi tertentu, misalnya lepas landas dan pendaratan.

Dalam perancangan pesawat nirawak, menurut Taufiq, bentuk dan jenis mesin pesawat harus diperhatikan agar pesawat bisa terbang pada kecepatan, ketinggian, dan lama terbang tertentu. Agar bisa terbang, pesawat dirancang seringan mungkin. ”Berat pesawat diatur. Untuk terbang lama, bahan bakar pesawat harus banyak. Jadi, berat komponen lain dikurangi,” kata dia.

Buatan Indonesia

Kini, BPPT, Lapan, dan sejumlah perguruan tinggi sudah membuat pesawat nirawak untuk berbagai keperluan. Salah satu pesawat nirawak buatan BPPT adalah Wulung. Tiga prototipe pesawat itu diproduksi PT Dirgantara Indonesia. Wulung mampu terbang enam jam radius operasi 200 kilometer dari pusat kendali dengan kecepatan 100 km per jam. Pesawat akan dipakai Tentara Nasional Indonesia mengawasi daerah perbatasan.

”Wulung bisa masuk pesawat Hercules sehingga bisa dipindahkan mengawasi seluruh wilayah Indonesia,” kata Joko.

BPPT juga mengembangkan pesawat nirawak lain, seperti Sriti, Alap-alap, Gagak, dan Pelatuk. Kini, mereka mengembangkan pesawat nirawak medium altitude long endurance (MALE) yang mampu terbang 20-30 jam non-stop dan pesawat untuk hujan buatan.

Pesawat nirawak buatan Lapan yang disebut Lapan Surveillance Unmanned Seri 2 (LSU-02) juga mampu terbang hingga 200 km non-stop dan memantau perbatasan. Pesawat itu memotret puncak Gunung Merapi setelah erupsi dan banjir Kampung Melayu, Jakarta, Januari 2013. Kini Lapan mengembangkan LSU-05 dengan daya jelajah hingga 350 km.

Ke depan, Lapan ingin memodifikasi pesawat ringan berawak (light-sport aircraft/LSA) menjadi pesawat nirawak guna pemetaan kawasan lebih luas, seperti pulau besar di Indonesia. Modifikasi memanfaatkan berat awak yang ditiadakan sehingga pesawat yang semula hanya bisa terbang delapan jam berjarak 1.000 km, akan mampu terbang hingga 24 jam dengan jarak 2.500-3.000 km.

Taufiq mengingatkan, teknologi pesawat nirawak bukan teknologi terbuka, komponennya banyak bergantung pada negara lain. Kemandirian industri dirgantara harus dibangun agar tak terpengaruh embargo negara lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com