Menanam Mangrove untuk Ekonomi dan Ekologi

Kompas.com - 01/11/2013, 21:22 WIB

Oleh Adhitya Ramadhan

KOMPAS.com - Mangrove tidak hanya memiliki fungsi ekologi, tetapi juga ekonomi. Ketika di berbagai daerah perhatian masyarakat terhadap kondisi kawasan mangrove meningkat, di Bengkulu justru jalan di tempat. Padahal, kawasan mangrove di Bengkulu sangat mudah diakses dan berpotensi dikembangkan menjadi daerah wisata.

Ibarat pepatah, semut di seberang lautan terlihat jelas, sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak. Itulah kondisi kawasan mangrove di Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang dan Pulau Baai di Kota Bengkulu.

Walaupun berada dekat dengan pusat kota dan mudah diakses, tidak membuat pemangku kepentingan menaruh perhatian serius pada mangrove. Bahkan, mungkin belum banyak juga pengambil kebijakan di daerah yang mengetahui bahwa ada mangrove di Kota Bengkulu.

Padahal, ancaman terhadap kelestarian mangrove di TWA Pantai Panjang selalu ada. Posisinya yang berada di kota dan mudah dijangkau, sering kali justru menambah rentan habitat mangrove. Dan jika dibiarkan, kawasan mangrove yang sudah banyak beralih fungsi jadi kolam dan kebun sawit itu niscaya akan habis.

Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Mugiharto mengatakan, dari tahun ke tahun luas areal mangrove di TWA Pantai Panjang dan Pulau Baai terus turun. Daerah yang dahulu ditumbuhi mangrove kini telah berubah fungsi menjadi kolam atau kebun kelapa sawit. Nelayan juga sering menebang batang mangrove untuk membuat pondok di sektiar pantai atau perahu.

”Sebelum tahun 2000-an ada permintaan kayu mangrove yang banyak untuk arang. Ini juga yang menyebabkan penebangan mangrove marak saat itu,” kata Mugiharto.

Di tahun 2002, areal mangrove di TWA Pantai Panjang yang masuk dalam wilayah Kelurahan Sumber Jaya, Teluk Sepang, dan Kelurahan Kandang, Kecamatan Kampung Melayu, seluas 1.000 hektar. Di tahun 2007, luas itu berkurang menjadi 535 hektar.

Di antara berbagai jenis mangrove yang ada di TWA itu, Avicennia marina dan Sonneratia alba menjadi jenis mangrove yang paling rusak. Penyebabnya ialah posisi kedua jenis mangrove ini paling dekat dengan permukiman penduduk sehingga mudah dijangkau.

Bermula dari kepedulian terhadap kawasan mangrove yang kian menyusut itulah, sejumlah anak muda membentuk Komunitas Mangrove Bengkulu. Mereka berkomitmen untuk menanami mangrove di daerah pasang surut TWA Pantai Panjang. Difasilitasi oleh BKSDA Resor Kota Bengkulu, komunitas yang beranggotakan sekitar 20 orang itu berencana menanami lahan pasang surut seluas lebih kurang 5,8 hektar di TWA Pantai Panjang dan 3 hektar di Kelurahan Pondok Besi, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu.

Koordinator Komunitas Mangrove Bengkulu, Ricky Rahmasyah, menuturkan, di tahap awal calon anggota komunitas yang mayoritas mahasiswa harus mengikuti pendidikan dan latihan. Mereka diajari pengenalan habitat, jenis, dan manfaat mangrove. Selebihnya mereka lebih banyak aksi langsung di lapangan sambil berdiskusi.

Mereka kemudian membagi diri dalam kelompok yang masing-masing beranggotakan 5-6 orang. Ini untuk memudahkan teknis menanam di lahan yang sudah diplot dalam beberapa blok. Sejauh ini, Komunitas Mangrove Bengkulu sudah menanam lebih dari 1.000 batang mangrove di lahan pasang surut seluas 5 hektar, yaitu 2 hektar di TWA Pantai Panjang dan 3 hektar di Pondok Besi.

Karena kebanyakan anggota komunitas adalah mahasiswa, maka waktu menanam mangrove biasanya dilakukan setiap akhir pekan. Setelah mencari bibit ke dalam hutan mangrove, mereka langsung menanamnya di blok yang telah ditentukan.

Sebenarnya di kawasan TWA Pantai Panjang ada beberapa jenis mangrove, seperti misalnya Rhizopora apiculata, Bruguiera sexangula, Lumnitzera littorea, dan Avicennia alba. Namun, yang banyak ditanam adalah Rhizopora apiculata karena jenis inilah yang bibitnya banyak tersedia di lokasi.

”Kalau suksesi buatan atau penanaman tidak dilakukan, kawasan pasang surut hanya akan jadi padang rumput biasa. Memang, jika dibiarkan lama-lama pohon mangrove secara alami akan tumbuh, tapi pertumbuhannya lambat,” kata Rendra Regen Rais, salah satu anggota Kominitas Mangrove Bengkulu.

Empat bulan sudah anggota komunitas itu menanam mangrove. Tanaman mangrove yang ditanam di Pondok Besi sudah mulai tumbuh, dan diharapkan yang ditanam di TWA Pantai Panjang belum lama ini dapat tumbuh. Jika ada tanaman yang mati, anggota kelompok akan menggantinya dengan tanaman baru.

Ricky menyatakan, Komunitas Mangrove Bengkulu tidak hanya menanam saja melainkan juga akan merawat tanaman itu sesuai blok yang menjadi tanggung jawabnya.

Di Bengkulu, selain di TWA Pantai Panjang dan Pulau Baai di Kota Bengkulu, areal mangrove yang luas ada juga di Taman Buru Bukit Nanu’a di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara. Di luar itu, ada juga di Cagar Alam (CA) Pasar Ngalam, Seluma, Talo di Kabupaten Seluma, TWA Air Hitam dan CA Mukomuko di Kabupaten Mukomuko, serta CA Air Rami di Kabupaten Bengkulu Utara.

Untuk memperluas cakupan kegiatan penanaman mangrove, komunitas juga akan merekrut sukarelawan dari kelompok pencinta alam di sekolah-sekolah dan pihak-pihak lain baik perorangan maupun institusi yang peduli mangrove.

Keberadaan Komunitas Mangrove memang baru seumur jagung. Namun, kegiatan penanaman mangrove yang dilakukannya sejauh ini sudah menunjukkan komitmen kuat terhadap konservasi mangrove.

Bagi para anggota komunitas, menanami kembali mangrove bukan hanya untuk menyelamatkan ekologi semata, tetapi juga ekonomi masyarakat sekitar Pantai Panjang. Selama ini, hutan mangrove Pantai Panjang menjadi lokasi masyarakat mencari kepiting, kerang, udang, dan ikan untuk dijual.

Rusaknya mangrove akan mengakibatkan persediaan ikan menurun sebab kawasan mangrove menjadi daerah pemijahan ikan. Selain itu, rusaknya mangrove juga bisa berakibat pada menghilangnya sejumlah satwa seperti burung dara laut, burung betet, cekakak, kuntul, elang laut, berang-berang, dan kucing hutan.

Mugiharto pernah menghitung bahwa nilai ekonomi total dari mangrove pada kawasan seluas 100 hektar di TWA Pantai Panjang dan Pulau Baai saja bisa mencapai Rp 6,4 miliar atau Rp 64 juta per hektar. Sungguh nilai ekonomi yang tidak sedikit.

Selain itu, mangrove yang rapat juga dapat mengurangi abrasi dan menekan dampak dari bencana tsunami. Oleh karena itulah, penyelamatan mangrove di TWA Pantai Panjang menjadi sesuatu yang penting artinya. (KOMPAS CETAK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau