Refleksi Peneliti Indonesia Saat Ikut Program Riset Singapura

Kompas.com - 29/10/2013, 12:10 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com - Jumat (25/10/2013), Kompas.com bertemu dengan Dwi Listyo Rahayu dan Sigit Anggoro Putro Dwiono, peneliti pada UPT Loka Pengembangan Bioindustri, Mataram.

Keduanya baru saja pulang dari Singapura. Mereka berperan dalam salah satu proyek penelitian penting di negara itu, Singapore Strait Marine Biodiversity Research, proyek penelitian yang mencakup inventarisasi serta budidaya organisme laut.

Dwi Listyo atau Yoyok berperan dalam taksonomi sementara Sigit berperan dalam riset budidaya.

Dalam pertemuan, Yoyok dan Sigit bercerita bagaimana Singapura yang kecil dan miskin keragaman hayati serius menginventarisasi dan melakukan prospeksi, serta membandingkannya dengan Indonesia.

"Bayangkan, Singapura itu luasnya mungkin tidak lebih besar dari Lombok. Wilayah lautnya kecil. Tapi mereka serius mau melakukan inventarisasi," kata Yoyok.

Yoyok mengatakan, untuk mendukung riset itu, Singapura mendatangkan banyak pakar dari luar negeri untuk membantu. Akomodasi sekaligus honor menarik ditawarkan pada para peneliti agar mau membantu.

"Bandingkan dengan Indonesia. Riset kita tentang biodiversitas itu minim sekali. Padahal wilayah kita luas dan jelas kaya," ungkap Yoyok.

"Saya sampai diledek oleh rekan-rekan peneliti dari luar. Coba kalau Indonesia yang mengadakan proyek penelitian seperti ini, tidak usah ditanggung akomodasinya pun semua akan datang," imbuhnya.

Yoyok menuturkan betapa bantyak peneliti menganggap wilayah Indonesia kaya dan pantas untuk dieksplorasi.

Menurut Yoyok, kekayaan itu terbukti dari pengalamannya menemukan banyak spesies baru. "Banyak spesies itu saya cuma temukan di laut belakang kantor UPT LIPI di Mataram ini," katanya.

Kantor UPT UPT Loka Pengembangan Bioindustri, Mataram, berlokasi di Desa Teluk Kodek, Lombok Barat. Sedikit menyebrang lautan dari kantor itu, kita bisa sampai di Gili Trawangan.

"Makanya, saya kalau ditanya dimana menemukan spesies baru, saya selalu bilang di halaman belakang. Baru-baru ini saja saya menemukan 13 spesies baru, sudah siap dipublikasikan," kata Yoyok.

Sementara itu, Sigit bercerita bagaimana Singapura berupaya mencukupi kebutuha sumber makanan laut yang sehat.

"Saya terlibat riset tentang kerang darah, tentang teknik budidayanya. Kita sering masih bicara soal mencukupi kebutuhan makanan laut. Mereka sudah mau mencukupi kebutuhan laut yang bebas penyakit," papar Sigit.

Kerang darah yang masuk ke Singapura, umumnya dari Malaysia, banyak terinfeksi Hepatitis A. Singapura menghendaki kerang darah yang dikonsumsi bebas Hepatitis A.

"Jadi dalam penelitian ini mereka mengupayakan bagaimana caranya membersihkan atau mengobati kerang darah yang terinfeksi Hepatitis A. Setelah dibersihkan dari Hepatitis A, keranng darah baru dikonsumsi," paparnya.

Tentang budidaya secara umum, Singapura juga punya rencana untuk melakukan budidaya organisme laut sumber makanan secara vertikal.

Konsepnya, kata Sigit, seperti tambak-tambak yang disusun vertikal menyerupai rak. Hal itu dilakukan Singapura untuk mengatasi lahan budidaya yang terbatas.

Sigit mengungkapkan, makanan laut yang didapatkan Singapura salah satunya berasal dari Indonesia. Sigit memang mengatakan bahwa Singapura tidak mungkin bisa mandiri mencukupi kebutuhan makanan lautnya, tetapi ketergantungan bisa dikurangi.

"Dulu Singapura juga tergantung air pada Malaysia. Sekarang 70 persen kebutuhan air sudah bisa dicukupi sendiri, cuma 30 persen dari Malaysia," katanya.

Ke depan, bila budidaya makanan laut di Singapura, ketergantungan pada Indonesia dan Malaysia mungkin akan berkurang. Bagi Indonesia, ini pertanda buruk, sebab pasar menjadi berkurang.

Belajar dari proyek riset Singapura itu, Yoyok dan Sigit mengatakan bahwa Indonesia harus serius dalam riset kelautan.

"Apalagi sekarang dengan adanya perubahan iklim. Kita harus inventarisasi kekayaan kita. Kalau tidak, nanti banyak yang hilang tanpa kita ketahui, padahal mungkin menyimpan manfaat," papar Yoyok.

Yoyok menuturkan, riset dan pendataan biodiversitas harus terintegrasi. Saat ini, data masih terpencar.

Sigit menuturkan, dalam kaitannya dengan sumber makanan laut, Indonesia juga harus mulai tidak tergantung pada alam. Penangkapan ikan dan sumber makanan laut lain dinilainya sudah berlebihan. Saatnya Indonesia serius mengembangkan teknik budidaya untuk mencukupi kebutuhan makanan laut secara berkelanjutan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau