Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bulan Sabit di Siang Hari

Kompas.com - 15/07/2013, 11:13 WIB

Jika angka-angka tersebut diekstrapolasikan ke dalam situasi saat Matahari terbenam, nyatalah bahwa jika menggunakan teleskop 35 cm busur sabit Bulan tersebut akan teramati jika beda tinggi Bulan-Matahari minimal 8,5 derajat yang berimplikasi pada umur Bulan lebih dari 17 jam dan Lag Bulan lebih dari 34 menit. Sementara, jika tidak memakai teleskop, sabit Bulan terlihat bila beda tinggi Bulan-Matahari melebihi 20 derajat dengan umur Bulan lebih dari 40 jam dan Lag Bulan lebih dari 80 menit. Jelas hasil ekstrapolasi ini terlalu besar dan justru menyelisihi argumen wujudul hilaal karena nilai Lag-nya jauh dari batasan -2 menit.

Yang menarik adalah pengamatan Thierry Legault pada 14 April 2010 lalu, yang berhasil mengidentifikasi busur sabit Bulan di siang hari tepat pada saat konjungsi. Namun hasil ini pun harus dilihat dengan hati-hati.

Selain berbasis observasi dengan teknik yang teramat sulit, karena menggunakan penapis cahaya (pemblokir terangnya Matahari), Legault pun harus menggunakan filter inframerah 8.500 Angstrom dan memotret hingga 500 kali. Seluruh foto digitalnya lantas dijadikan satu hingga akhirnya memunculkan citra busur sabit Bulan.

Pengukuran intensitas cahaya dengan fotometer pada saat yang sama menunjukkan, tanpa proses seperti ini, busur sabit Bulan takkan terlihat karena intensitas cahaya inframerah yang memenuhi langit saat itu adalah 400 kali lebih besar ketimbang Bulan. Bahkan dalam spektrum cahaya tampak, intensitasnya 1.000 kali lebih besar.

Dan andaikata kita mengabaikan fakta-fakta tersebut dan mengekstrapolasi posisi Bulan saat itu ke dalam situasi terbenamnya Matahari, dengan elongasi Bulan-Matahari senilai 4,5 derajat maka beda tinggi Bulan-Matahari harus lebih dari 4,5 derajat dengan umur Bulan lebih dari 9 jam dan Lag Bulan lebih dari +18 menit. Sekali lagi, ekstrapolasi ini terlalu besar bagi wujudul hilaal khususnya dalam aspek Lag Bulan-nya.

Maka, dengan fakta-fakta tersebut, kebutuhan akan sebuah kriteria yang tak hanya berterima dan menjadi persepakatan para pihak terkait, namun juga memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, menjadi satu hal yang mutlak. Sebab hanya dengan cara demikianlah kita bisa mendefinisikan apa itu hilaal sekaligus batasan-batasannya terhadap status-status Bulan yang lainnya. Dalam tulisan selanjutnya akan kita lihat bagaimana upaya cendekiawan Muslim kontemporer untuk mewujudkan hal tersebut.

* Muh Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com