Jejak Teknologi Hidrolik Sultan Ageng Tirtayasa

Kompas.com - 24/05/2013, 18:01 WIB

Peneliti teknologi hidrolik dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Sony Wibisono, mengatakan, teknologi hidrolik Sultan Ageng merupakan sebuah sistem yang dibuat untuk menyediakan, mengendalikan, dan mengelola air di daerah rawa pantai Banten. Sebelumnya air yang ada di alam ini sifatnya ”liar” dan mengalir ke daerah rendah mengikuti kontur bumi, mengikuti lembah sungai.

Ketika berlebih pada musim hujan, air bisa mengisi apa saja dalam bentuk banjir. Namun, saat kering air terjebak dalam cekungan-cekungan seperti rawa. Air yang seperti itu acap kali tidak dapat dimanfaatkan karena bercampur dengan air laut dan menjadi air payau.

”Apa yang dilakukan Sultan Ageng adalah sebuah teknologi yang diartikan sebagai cara atau siasat yang dilakukan untuk mengendalikan air liar itu menjadi bermanfaat secara optimal,” kata Sony.

Ia menambahkan, Sultan Ageng memodifikasi lingkungan seperti itu dengan membuat sodetan dari sumber air induk sungai dan rawa-rawa. Dia membangun kanal-kanal untuk menyalurkan air dan membuat bangunan pengairan (bendungan dan pintu air) untuk mengendalikan, menaikkan, serta memindahkan aliran air.

Tidak mengherankan jika peneliti asal Perancis dan juga penulis buku Sejarah Banten, Claude Guillot, menyebut Sultan Ageng sebagai teknokrat visioner yang egaliter serta terbuka menerima ilmu pengetahuan dan teknologi. Guillot mencatat, untuk pembangunan teknologi tata kelola air irigasi persawahan, Sultan Ageng mendatangkan seorang konsultan dari Belanda bernama Willem Caeff.

”Sultan dikenal sebagai ahli strategi perencanaan logistik andal pada zamannya. Sultan membangun irigasi multifungsi. Irigasi bukan hanya untuk kepentingan ekonomi pertanian, melainkan juga jalur transportasi dan pertahanan negara. Sultan mampu menciptakan konsep terpadu dalam menyiapkan infrastruktur sehingga keterbatasan diubah menjadi keunggulan,” tulis Guillot.

Perlu dilestarikan

Sony mengemukakan, mahakarya Sultan Ageng itu dapat dikatakan sebagai embrio pembangunan pembukaan tanah pertanian intensif di wilayah yang kini menjadi salah satu lumbung pangan nasional itu. Teknologi hidrolik itu merupakan fenomena budaya yang sering dipakai para ahli untuk menandai kemajuan atau keunggulan sebuah peradaban (civilization).

Teknologi itu bukan hanya rumit dalam proses pembuatannya karena menggunakan perhitungan, penguasaan pengetahuan air dan bumi atau lingkungan. Saat difungsikan, teknologi itu membutuhkan pengelolaan dan organisasi yang cermat.

”Tidak hanya pengerahan massal, tetapi juga untuk merawat, mencermati penjadwalan musim, dan menumbuhkan spesialisasi pekerjaan seperti ulu-ulu air yang menjaga tanggul, membagi air, dan membersihkan pintu air dari sedimen,” ujarnya.

Juru pelihara Balai Penyelamatan Situs Tirtayasa, Akhmad Taini, mengemukakan, bangunan-bangunan itu memang kurang terawat karena keterbatasan dana. Bangunan-bangunan itu juga belum berpagar keliling sehingga orang mudah keluar masuk lokasi.

”Selama ini tidak ada biaya perawatan dari pemerintah. Biaya perawatan itu sudah termasuk dalam gaji juru pelihara. Warga setempat juga kurang peduli karena belum tahu kalau peninggalan itu sangat bernilai,” kata Akhmad. (HENDRIYO WIDI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau