Yusianto, "Dokter Kopi" Indonesia

Kompas.com - 20/05/2013, 10:09 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

Yusianto juga memberikan pelatihan dasar kopi yang dijadwalkan dua kali setahun. Pengguna jasa Yusianto tak cuma dari Indonesia, tetapi juga negara lain seperti Malaysia, Korea, dan Thailand. Selain memberi pelatihan, Yusianto juga rutin menjadi juri kompetisi barista.

Kejayaan kopi Indonesia

Menurut Yusianto, Indonesia memiliki beragam varietas kopi dengan cita rasa unggul dan berpotensi untuk diekspor. Namun, ia menilai, pengembangan komoditas kopi di Indonesia masih perlu ditingkatkan.

Dari sisi produktivitas, produksi kopi Indonesia masih di bawah 1 ton per hektar. Indonesia kalah dengan Vietnam yang produktivitasnya sudah lebih dari 2 ton per hektar. Optimalisasi teknologi pertanian menjadi kunci peningkatan produktivitas.

Perlindungan beragam varietas kopi juga perlu dilakukan. Kopi Toraja misalnya, kini telah dipatenkan oleh Jepang. Padahal, sumber daya alam hayati itu adalah milik Indonesia dan semestinya menjadi hak Indonesia.

Untuk membuat kopi Indonesia jaya dan mendatangkan keuntungan bagi setiap pihak, langkah perbaikan diperlukan. Perilaku dari level petani hingga perusahaan dan konsumen pun harus berubah.

"Petani kita kadang kalau panen biji merah dan hijau, yang berkualitas dan tidak berkualitas dicampur. Padahal harusnya dipisahkan. Kalau kita tanya petani, ini karena faktor keamanan. Kalau yang merah dipanen, yang hijau dipanen orang lain. Jadi, keamanan bagi petani perlu," katanya.

Pihak yang berkepentingan juga punya kewajiban mendidik petani. Misalnya tentang pilihan komoditas jenis kopi. Harga kopi arabika kini jauh melambung di atas robusta. Jika biji robusta harganya tak sampai Rp 20.000 per kilogram, arabika bisa lebih dari Rp 40.000 per kilogram.

"Makanya orang bilang kalau sekarang menanam robusta, itu cuma mengajak melarat. Kalau menanam arabika, itu mengajak kaya. Ada baiknya di lahan ketinggian menengah hingga tinggi itu dikonversi dari robusta ke arabika," urai Yusianto.

Saat ini, boleh dibilang hanya 10 persen dari kopi yang dihasilkan Indonesia adalah arabika. Padahal, arabika saat ini tengah digemari. Di kafe-kafe bergengsi, espresso dan minuman berbasis espresso dibuat dengan biji kopi murni arabika.

"Di level konsumen juga harus diperbaiki. Orang Indonesia kalau minum kopi itu asal bisa melek. Kopine nggereng angger ireng, iso melek. Memang kafein kopi bisa membuat melek, tetapi kopi juga soal cita rasa," ungkap Yusianto.

Yusianto menuturkan, Indonesia juga perlu melirik komoditas berpotensi yang selama ini belum banyak dikembangkan. Untuk kopi arabika, pengembangan kopi arabika Papua dan Priangan perlu dilakukan.

"Peluang Indonesia juga pada kopi liberika (Coffea liberica). Ini jenis kopi yang tidak banyak dikonsumsi saat ini. Cita rasanya unik. Ini perlu kita kenalkan pada dunia agar banyak yang tahu," kata Yusianto.

Kopi liberika kadang disebut kopi nangka. Kopi ini punya cita rasa sayur, seperti kacang panjang mentah. Di Indonesia, kopi ini tumbuh di Jambi dan Bengkulu. Pasar kopi ini cukup potensial. "Di Malaysia banyak yang mengonsumsi ini," tutur Yusianto.

Pengembangan terakhir adalah produk hilir. Yusianto mengatakan, Indonesia hendaknya tidak hanya mengekspor kopi dalam bentuk biji. Diharapkan ada kafe Indonesia yang "go international" dan menjual minuman dan biji kopi dengan harga lebih tinggi. Jika pengembangan dilakukan, Yusianto percaya bahwa Indonesia bisa menjadi "rajanya kopi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau