Jamur ini mampu mengurai senyawa berbahaya chrysene yang susah terurai menjadi karbon dioksida dan air yang aman bagi makhluk hidup.
Kini, Asep mengupayakan penerapan F oxysporum pada kondisi nyata di lapangan. Hal ini tidak mudah. Kondisi di lapangan dipengaruhi berbagai faktor seperti suhu, cuaca, dan arus.
Salah satu obsesi Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) Kementerian Kehutanan adalah menemukan bioremediasi untuk pewarna tekstil yang mencemari sungai di kawasan industri tekstil. Kepala Puskonser Adi Susmianto berharap temuan serupa bisa diaplikasikan pada proses industri pulp dan kertas. Industri itu banyak menggunakan pemutih berbahan kimia dalam proses membersihkan warna kertas.
”Temuan Asep semakin menginspirasi Puskonser untuk melakukan upaya koleksi mikroba untuk berbagai kepentingan, baik bioremediasi, biohealth, bioenergi, bioplastik, maupun bioreklamasi,” kata Adi.
Untuk pemanfaatan mikroba sebagai agen bioremediasi, demikian Adi, pihaknya akan terus berupaya meningkatkan kualitas hutan dan lingkungan. Sebagai misal dalam pengolahan asam tambang, reklamasi pascatambang, hingga mengatasi pencemaran logam berat akibat penggunaan air raksa dalam penambangan emas.
Pemanfaatan sumber daya mikroba kian menjanjikan bagi masa depan Indonesia dan dunia. Terlebih lagi, Protokol Nagoya yang diratifikasi Indonesia pada 11 April 2013 membuka harapan pembagian keuntungan bagi pemilik ”plasma nutfah” berupa mikroba hutan tropis dapat digunakan oleh negara lain dan bermanfaat bagi kehidupan penghuni Bumi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.