Biosolar Dinilai Paling Berpeluang

Kompas.com - 02/05/2013, 11:47 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Bahan bakar alternatif terbarukan biosolar atau biodiesel berbahan baku minyak sawit saat ini termasuk paling memiliki peluang dikembangkan. Selain teknologinya mudah dan sudah dikembangkan, di sejumlah daerah sedang terjadi kelangkaan solar serta harga minyak sawit dunia sedang merosot.

”Peluang seperti ini tidak pernah diperhatikan pemerintah untuk menciptakan regulasi pengembangan energi terbarukan. Walaupun nilainya masih kalah dengan harga solar bersubsidi, biosolar setidaknya mampu menyumbang pengurangan emisi gas rumah kaca,” kata Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Unggul Priyanto, Rabu (1/5/2013), di Jakarta.

Unggul mengatakan, harga sawit dunia sekarang diperkirakan mencapai Rp 7.000 per liter. Harga solar di tingkat dunia atau harga tanpa subsidi sekitar Rp 10.000 per liter. Setidaknya, biosolar dari minyak sawit mampu bersaing dengan solar tanpa subsidi.

Pemerintah saat ini juga sedang memproses kenaikan harga bahan bakar minyak fosil bersubsidi tersebut. Kenaikan harga yang dipatok masih di bawah Rp 6.500 per liter.

Menurut Unggul, subsidi bahan bakar minyak fosil selama ini mengganjal pengembangan produksi bahan bakar terbarukan. ”Bahan bakar terbarukan lainnya seperti bioetanol jauh lebih tinggi biaya produksinya sehingga masih sulit dikembangkan,” kata dia.

Saat ini, produksi sawit dari Indonesia masih didominasi untuk kepentingan ekspor. Dari tingkat produksi yang mencapai 24 juta ton, sekitar 18 juta ton diekspor dan selebihnya untuk keperluan domestik.

Tiru Brasil

Menurut Unggul, Indonesia dapat meniru Brasil dalam menghasilkan bahan bakar terbarukan. Brasil memanfaatkan produksi tebu yang berlimpah untuk memproduksi bioetanol, ketika harga gula dunia jatuh.

Model yang sama, kata dia, bisa diadopsi Indonesia, khususnya manakala harga sawit mentah jatuh. Saat itu dinilai momentum menggunakannya untuk produksi biosolar.

Selain perlu mengoptimalkan manfaat sawit, pemerintah juga perlu didorong mengendalikan area produksinya. Ilmuwan biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Endang Sukara, mengatakan, banyak perizinan area produksi tanaman sawit menggunakan hutan primer.

”Indonesia masih punya lahan terdegradasi 35 juta hektar. Ini yang semestinya digunakan untuk perkebunan sawit, bukan di area hutan primer,” kata dia.

Endang mengatakan, baru-baru ini, ia ditemui para investor sawit dari Malaysia. Para pengambil kebijakan di tingkat pemerintah daerah semestinya mengutamakan perizinan produksi sawit di lahan-lahan terdegradasi atau lahan telantar. Bukan hutan primer atau kawasan konservasi. (NAW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau