Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daud Badu, Dari Pemburu Jadi Pelestari Maleo

Kompas.com - 25/02/2013, 09:10 WIB

Daud termasuk satu dari empat orang yang terpilih, meskipun dia sebetulnya tidak memenuhi kriteria. Pasalnya, Daud sama sekali tidak mengenyam pendidikan sekolah. Daud sempat nyaris tersisih sebagai tenaga kontrak di Cagar Alam Panua, tetapi Tatang bersikeras. Kepada pimpinan BKSDA, Tatang beralasan bahwa Daud memiliki keahlian mencari telur maleo.

Jadilah sebagai ”ujian masuk” menjadi tenaga kontrak, Daud dites oleh pihak BKSDA. Tes itu terbilang sederhana, Daud diminta mencari sarang maleo yang berisi telur. Tes dilakukan di lokasi peneluran maleo di Cagar Alam Panua. Dengan mudah Daud menunjukkan sarang-sarang maleo yang berisi telur. Saat digali, tebakan Daud tak ada yang keliru.

Mulai Januari 2012, Daud yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan memiliki tugas tambahan sebagai pengawas dan pelestari maleo di Cagar Alam Panua. Setiap pagi dan sore, ayah tiga anak itu bertugas memeriksa sarang-sarang maleo dan sarang gosong di lokasi peneluran.

Jika ditemukan, telur-telur itu lantas dipindah ke sarang buatan yang lebih aman dan terlindungi dari ancaman pemangsa seperti biawak, babi hutan, atau ular.

”Selain saya tutupi dengan dedaunan kering, di sekitar sarang buatan itu saya siram air seni agar tidak didekati babi hutan. Tak ada lagi pencurian telur yang dilakukan babi hutan atau biawak di sarang buatan,” katanya.

Sejak terlibatnya Daud, populasi maleo di Cagar Alam Panua dipastikan bertambah. Sepanjang tahun 2012, ia berhasil menyelamatkan 150-an butir telur maleo. Dari jumlah itu, hampir 100 butir yang menetas lalu dilepas ke alam. Jika tidak diselamatkan, banyak telur maleo yang akan dimakan pemangsa. Belum lagi telur yang gagal menetas akibat suhu tanah yang tak menentu.

Menurut Staf Senior Program Wallaceae pada organisasi Burung Indonesia di Gorontalo, Amsurya Warman, gangguan terhadap kelestarian maleo di Gorontalo terus terjadi. Ancaman itu datang dari pemangsa dan akibat tindakan manusia yang merusak keseimbangan habitat maleo.

Contohnya adalah penebangan hutan atau alih fungsi hutan. Penebangan hutan di Gorontalo dari tahun ke tahun semakin mempersempit ruang gerak maleo.

”Maleo dikenal sebagai hewan yang sensitif terhadap semua aktivitas di sekitar habitat mereka. Jika ada gangguan, mereka akan pergi dan pindah mencari habitat baru. Padahal, degradasi hutan, semakin mempersempit habitat mereka di Gorontalo,” kata Amsurya.

Maleo memerlukan tempat bertelur dengan suhu tanah sekitar 32-34 derajat celsius. Burung ini bertelur setelah mencapai usia tiga tahun dan dalam setahun bisa bertelur sebanyak 10 butir. Maleo mengubur telurnya pada kedalaman 50-60 sentimeter dan menetas sekitar 60 hari kemudian. Dalam kurun 15 tahun terakhir, diperkirakan populasi maleo di Gorontalo berkurang dari 25.000 ekor menjadi 10.000 ekor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com