Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagi Jakarta, Banjir Seolah Menjadi Takdir

Kompas.com - 18/01/2013, 09:14 WIB

Restu mengatakan, kegagalan sistem kanal yang dirintis Belanda karena topografi Jakarta yang datar dan tingginya tingkat sedimentasi.

Cekungan banjir

Ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jan Sopaheluwakan, mengatakan, banjir Jakarta tak akan bisa diselesaikan dengan sistem kanal karena geologis Jakarta sebenarnya cekungan banjir. Sebaliknya, kawasan utara sekitar Ancol dan Teluk Jakarta mengalami pengangkatan karena proses tektonik. Akibatnya, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut dan kerap terjebak di cekungan besar Jakarta.

”Itu sebabnya, Teluk Jakarta tidak bisa membentuk delta, seperti Delta Mahakam di Kalimantan. Endapan kasar yang dibawa sungai-sungai mengendap di cekungan Jakarta sehingga tidak sampai ke laut dan membentuk delta,” katanya.

Teluk Jakarta, menurut Sopaheluwakan, adalah tinggian lokal, sementara dari Pantai Teluk ke arah darat (ke selatan) adalah kawasan rendahannya. Dataran rendahan (cekungan) ini dibatasi tinggian Ciputat. Jadi, dari barat Ciputat hingga Teluk Jakarta ibarat sebuah mangkuk raksasa. Jakarta tepat berada di tengah mangkuk itu sehingga secara geomorfologi disebut ”dataran banjir Jakarta”.

Cekungan Jakarta, menurut Sopaheluwakan, terbentuk dari tanah sedimen muda sangat tebal tetapi belum terkonsolidasi. Akibatnya, secara geologis, tanah di Jakarta perlahan turun. Penurunan tanah di Jakarta diperparah pengambilan air tanah secara besar-besaran. ”Penurunan tanah di Jakarta bervariasi di beberapa tempat, 4-20 sentimeter per tahun,” katanya.

Kondisi tanah yang secara geologis merupakan cekungan menyebabkan pada masa lalu sebagian kawasan Jakarta berupa rawa-rawa yang dikepung sungai-sungai. Sebagian dataran yang kering pada musim kemarau menjadi daerah parkir air waktu banjir. ”Di masa kolonial, daerah luapan banjir dinyatakan sebagai daerah parkir air dan dinyatakan sebagai daerah pertanian dan kawasan hijau. Pemanfaatannya untuk kawasan terbangun maksimal 5 persen dari luas tanah,” kata Restu.

Sejak 1960-an, kawasan parkir air diuruk. Sebagai contoh, kawasan Tebet yang sebenarnya adalah luapan banjir Sungai Ciliwung, kawasan Mampang yang merupakan luapan banjir Sungai Krukut, dan Kebayoran Lama yang merupakan luapan banjir Sungai Grogol.

Ancaman banjir di Jakarta bertambah parah seiring perubahan kawasan dataran tinggi yang mengelilingi cekungan menjadi pusat permukiman baru. Waduk-waduk dan rawa-rawa yang banyak di pinggiran Jakarta kini dikeringkan dan dijadikan hunian. Akibatnya, kawasan untuk resapan air justru mengirim lebih banyak air permukaan ke Jakarta.

Sopaheluwakan menyarankan, untuk mengurangi banjir Jakarta, kota ini harus menambah kawasan resapan dan mengembalikan fungsi tempat parkir air. ”Gambir ke selatan harus ada lebih banyak ruang terbuka hijau dan situ-situ untuk menyerap air. Ini dimungkinkan dengan merevisi total tata ruang yang ada. Lahan terbuka diperbanyak dan pembangunan dilakukan ke atas,” katanya.

Kawasan penyangga juga harus dihijaukan kembali. Tidak boleh lagi menghabisi lahan di Tangerang, Bogor, dan sekitarnya untuk hunian.

Sejarah mencatat banjir sudah mengakrabi Jakarta sejak awal pendirian kota ini. Yang jadi masalah, warga kota tidak beradaptasi dengan banjir dan masih bermimpi menyelesaikan banjir ”hanya” dengan kanal-kanal dan deep tunnel. ”Jika takut banjir, jangan bangun rumah di bantaran sungai atau bekas situ. Boleh saja bangun rumah di sana, tetapi berbentuk rumah panggung atau rumah terapung, seperti di Sumatera dan Kalimantan,” kata Restu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com