JAKARTA, KOMPAS.com - Hujan lima hari terakhir di Jakarta dan sekitarnya masih akan terjadi. Awan hujan masih melimpah di atas Pulau Jawa karena dinamika atmosfer yang terkait kondisi cuaca lokal dan global. Curah hujan ditambah kondisi daratan yang rusak karena alih fungsi lahan berisiko menimbulkan banjir dan tanah longsor.
Secara meteorologis, monsun Asia dengan udara dingin bertekanan tinggi saat ini sedang menguat dan berembus ke tenggara, bertemu udara hangat bertekanan rendah di Indonesia yang mengalir dari Benua Australia. Akibatnya, awan hujan melimpah dan meluas di sepanjang Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara.
”Intensitas curah hujan akhir pekan ini di Depok dan Bogor akan meningkat,” kata Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Soepriyo di Jakarta, Kamis (17/1/2013).
Di wilayah Jakarta, curah hujan tertinggi kemarin tercatat di Kedoya 125 milimeter, Cengkareng (103 mm), Tanjung Priok (95 mm), Kemayoran (81 mm), Pantai Indah Kapuk (80,5 mm), Ciledug (59 mm), dan Pakubuwono (57 mm). Sementara di Bogor intensitas curah hujan mencapai 100 mm.
Intensitas curah hujan tersebut sebenarnya biasa saja jika dibandingkan dengan intensitas curah hujan tahun 2007. Saat itu, intensitasnya mencapai 340 mm, sedangkan curah hujan tahun 2002—yang juga menimbulkan banjir besar—mencapai 200 mm.
Namun, dari sisi cakupan wilayah, hujan kali ini merata di Jabodetabek. ”Jadi, volume airnya relatif cukup besar,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Mulyono Prabowo.
Tahun 2007, hujan besar terkonsentrasi di satu wilayah. BMKG memperkirakan peluang hujan lebat masih berpotensi terjadi sampai akhir Januari hingga pertengahan Februari 2013.
Penyebab lain
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan, curah hujan dan limpasan air hujan sangat tinggi kemarin mengalir ke Sungai Ciliwung.
”Ketinggian air Sungai Ciliwung di Pintu Air Manggarai 1.030 sentimeter, melampaui batas Siaga 950 cm,” tutur Sutopo.
Sementara itu, Manajer Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Fadli Syamsudin mengatakan, banjir Jakarta terkait dengan kondisi lokal.
Ketinggian air di pintu air terakhir Sungai Ciliwung yang terhubung ke laut di Teluk Jakarta, yaitu Pintu Air Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, mencapai 180 cm dan dalam keadaan status Siaga II. Akibatnya, aliran Sungai Ciliwung tak langsung terbuang ke laut, tetapi merendam wilayah kota Jakarta.
Penurunan tanah
Pakar hidrologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Robert Delinom, menengarai, tinggi muka air di Pintu Air Pasar Ikan mengindikasikan turunnya tanah Jakarta. ”Kondisi tersebut turut membuat banjir Jakarta bertahan lama,” tuturnya.
Di beberapa wilayah, penurunan tanah di Jakarta bervariasi, mulai dari 4 cm hingga 20 cm per tahun. Bahkan, di daerah Pluit, Jakarta Utara, yang tanahnya merupakan produk reklamasi, penurunan relatif tinggi. ”Mencapai 24 cm per tahun,” kata ahli geoteknologi LIPI, Jan Sopaheluwakan. (NAW/YUN/AIK)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.