”Dalam pementasan drama tari ini, kami melibatkan pelajar dan mahasiswa, dengan harapan mereka peduli terhadap sejarah dan kebudayaan Majapahit,” ujar Nanang.
Pertunjukan drama tari ”Tribhuwana Tunggadewi Menggugat” menelan biaya produksi Rp 35 juta. Dana itu diperoleh dari sumbangan donatur dan partisipan dan boleh dibilang adalah langkah awal dari komunitas anak muda untuk berkpirah melalui karya seni dan budaya. Melalui jendela sejarah masa lampau sebagai inspirasi, sekaligus pemicu, mereka berusaha merengkuh kembali kejayaan negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem lan rahardjo.
”Apa yang kami lakukan ini konsepnya padamu negeri, berbakti untuk negeri ini dengan apa yang bisa kami perbuat,” kata Nanang.
Membangkitkan kenangan tentang Majapahit melalui panggung seni pertunjukan boleh jadi sebuah romantisisme masa lampau. Mereka merindukan negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem lan rahardjo yang pernah direngkuh bangsa ini kala Tribhuwana Tunggadewi bertakhta di bumi Nusantara.
Dari panggung pertunjukan drama tari itu, setidaknya anak negeri ini kembali dibangkitkan ingatannya atas sosok perempuan, ibu sekaligus pemimpin negara. Tribhuwana Tunggadewi juga menjadi perintis negara kesatuan Nusantara dengan mahapatihnya, Gajah Mada, hingga mencapai tatanan kehidupan yang baik.
”Jujur saja, saya tidak banyak tahu dan mengerti tentang Majapahit, tetapi setelah diminta memerankan sosok Tribhuwana Tunggadewi, saya akhirnya tahu kalau figur itu adalah seorang perempuan yang tegas, tetapi tidak garang,” kata Nila Ratna Mainingsih.
Keberanian komunitas Majapahit Creative Centre yang mengusung cerita sejarah Majapahit melalui seni pertunjukan drama tari selayaknya dibarengi studi mendalam atas tokoh yang hendak diapresiasikan sehingga lebih menarik untuk khalayak.