Namun, badai ini belum tentu berdampak pada Bumi, tergantung arah ledakan dan kondisi magnetosfer Bumi, apakah muatan magnetnya sama atau berlawanan dengan muatan magnet partikel Matahari.
Satria mengatakan, magnetosfer adalah medan magnet, bukan lapisan partikel. Ia tidak bisa disamakan dengan lubang ozon. Karena itu, tidak ada istilah magnetosfer retak atau bocor seperti yang diisukan.
Menurut Clara, badai Matahari adalah peristiwa rutin. Pengamatan siklus Matahari dilakukan sejak 1745. Manusia punya sistem untuk mengantisipasi, termasuk peringatan dini.
Badai ini hanya memberi dampak pada satelit, sistem komunikasi atau kelistrikan di negara-negara dekat kutub. Belum ada catatan manusia jadi korban langsung badai Matahari.
Letusan gunung api
Kiamat juga dikabarkan terjadi akibat letusan gunung api besar (supervolcano), seperti letusan Gunung Toba di Sumatera atau letusan yang membentuk Kaldera Yellowstone di Amerika Serikat.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono berkata, letusan gunung api selalu didahului tanda-tanda peningkatan aktivitas magma, seperti gempa, pelepasan gas, atau penggelembungan gunung. Untuk letusan superdahsyat, tanda-tanda ini harus ada minimal setahun sebelumnya. Letusan tidak bisa terjadi tiba-tiba.
”Semua gunung api aktif di Indonesia terpantau,” ujarnya. Demikian pula gunung api aktif di berbagai negara. Waktu letusan, besaran letusan, dan kapan letusan berakhir tak dapat diprediksi. Karena itu, ramalan letusan besar gunung api 21 Desember dinilai mengada-ada.
Peristiwa yang terjadi di alam tidak terjadi seketika, ada logika yang menyertainya. Semua membutuhkan proses dengan jangka waktu panjang, hingga jutaan tahun. Bukan sulap, bukan sihir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.