Jakarta, Kompas -
Delegasi Republik Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, dinilai lebih memberi fokus pada isu REDD+ dan perdagangan karbon. ”Isu dana adaptasi, pembangunan kapasitas, dan transfer teknologi tidak mendapat tempat di meja perundingan,” kata Teguh Surya, pengamat masalah perubahan iklim yang juga mantan pengurus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, melalui live streaming dari Doha, Selasa (4/12).
Pada ”Indonesia Climate Change Day” 1 Desember 2012 di Doha, lanjut Teguh, delegasi RI tak banyak berbicara soal adaptasi. ”Dalam acara yang didukung RAPP (Riau Andalan Pulp Paper), Indonesia justru mempromosikan skema perdagangan karbon global, REDD+, pasar karbon, hingga efisiensi energi,” kata dia. ”Harusnya Indonesia banyak membahas soal adaptasi yang sudah mendesak dilakukan.”
Direktur Walhi Kalimantan Barat Anton P Wijaya yang juga berada di Doha mengatakan, dalam acara Kaukus Masyarakat Adat, soal adaptasi memang banyak dibicarakan.
”Seminggu ini masyarakat adat di seluruh dunia banyak mendiskusikan dampak perubahan iklim yang telah melanda, bagaimana mengurangi dampak, dan dari mana dananya,” katanya. ”Tetapi, isu pendanaan adaptasi dipinggirkan, tak dapat prioritas konferensi,” katanya.
Teguh dan Anton serta Juru Kampanye Politik Hutan
”Kalaupun Indonesia memaksakan diri mau menjual karbon, itu belum siap. Masih banyak persoalan, baik di Jakarta maupun di lapangan. Mulai dari isu korupsi, tata ruang, tata guna hutan, hingga tumpang tindih antarsektor untuk konsesi maupun perizinan,” katanya. ”Skema karbon ini justru bisa lebih menjerumuskan Indonesia ke banyak persoalan.”
Yuyun menyebutkan, beberapa proyek percontohan REDD+ juga bermasalah. Misalnya, proyek di Ulu Masen, Aceh. Di Kalimantan, ”Saat ini merebak konflik dengan masyarakat di Kabupaten Kapuas. Makelar karbon bergentayangan, membuat kesepakatan tidak transparan dengan bupati,” kata dia.
Menanggapi penilaian ini, anggota delegasi Indonesia belum memberi respons.