Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/11/2012, 11:51 WIB

KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu saya membawakan seminar konseling di Jayapura, pada sekelompok ibu. Saat sesi tanya jawab, seorang peserta, sebut saja namanya ibu Dina, yang sudah sepuh menyampaikan pengalaman menarik tentang temannya, Rista (samaran).

Dia menemukan Bu Rista duduk di pinggir sungai di bawah pohon rindang, sedang komat-kamit. Bu Rista memandang air, batu dan terkadang ke pohon. Ia berkata, “Air, pohon dan batu, aku mau curhat ya. Dengarkan kesulitan dan kesusahanku……
Bu Rista curhat tentang uneg-unegnya dan bicara sendiri pada air dan batu danau tadi.

Bingung melihat sikap temannya, bu Dina yang mantan anggota dewan ini, menyapa, ingin tahu yang dilakukan temannya itu. Bu Rista menjawab, “Oh saya biasa curhat pada air, batu dan pohon. Mereka baik, selalu setia mendengarkan saya…tidak seperti manusia di sekitar saya,….

*********

Mendadak saya teringat perkataan Dietrich Boenhoeffer, “Sesungguhnya orang di sekitar kita banyak mencari telinga kita tapi sayangnya kita justru memberikan mulut kita…

Setiap manusia perlu curhat. Cerita. Menuangkan unek-unek yang menumpuk. Tapi sayangnya saat kita butuh telinga sahabat/ kerabat, mereka memberi mulut menasehati kita.

Di satu sisi curhat itu sehat dan memulihkan. Apalagi saat emosi dan pikiran kita penuh sesak. Tapi di sisi lain jika kita salah memilih teman untuk curhat bisa juga mengecewakan.

Pelbagai kejadian negatif menekan dan datang silih berganti. Jika ada pikiran negatif atas pengalaman atau peristiwa buruk kita biarkan dapat menumpuk perasaan negatif. Sebut saja kegagalan, dikhianati, menghadapi masalah ekonomi dsb. Jika emosi negatif seperti sedih, kecewa dan marah tadi dibiarkan akan memengaruhi perilaku kita.

Saat sesak hati seperti itu kita butuh telinga seseorang untuk mendengarkan kita. Ya, hanya untuk mendengarkan kita. Seseorang yang memberikan kuping dan hatinya menjadi tempat “kerangang sampah” emosi kita tadi. Mendengar kita dengan empati, apalagi mendengarkan secara aktif, sangat melegakan. Meskipun tanpa solusi.

Sayangnya, tidak banyak orang di sekitar kita siap mendengarkan atau mampu menjadi pendengar yang baik. Tak jarang pula teman curhat kita  mengecewakan karena tidak bisa menyimpan rahasia dan membocorkannya. Itulah sebabnya  sebagian klien kami trauma.  Takut cerita, dan memilih menyimpan masalahnya.

Selain minimnya orang yang trampil mendengarkan atau konselor profesional di sekitar kita, “kesehatan” curhat tergantung juga pada kepribadian orang (klien) tersebut.

Beberapa diantaranya ialah:

1. Kesadaran Diri. Self awareness ini dibutuhkan saat curhat. Ada Keterbukaan diri untuk berbagi. Orang yang kesadaran dirinya baik lebih mampu memetakan emosi dengan tepat. Apakah emosinya lagi marah, sedih, kecewa atau emosi yang lain. Makin baik kesadaran diri, makin berani dan jernih saat berbagi emosi

2. Memiliki Sahabat. Kemalangan klien kami bukan karena masalahnya banyak, tapi karena teman baik atau sahabatnya sedikit. Jika kita cerita pada teman baik yang bisa kita percaya, kita merasa nyaman cerita masalah kita sesungguhnya. Sebagian emosi negatif akan keluar saat curhat, dan itu melegakan

3. Minder dan Paranoid. Beberapa pribadi punya hambatan seperti klien yang minder dan pemalu. Sulit berbagi. Ada juga klien yang cenderung paranoid dan sulit percaya pada siapapun. Bisa jadi ini hasil pembentukan masa kecil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com