Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Sekadar Hasil Kebun untuk Konsumsi

Kompas.com - 05/11/2012, 06:15 WIB

Sebagaimana digambarkan tetua Jusuf Boimau, ritual poepah di Niki-niki, Boti, Amanuban, atau sejumlah kampung tua lainnya di TTS, ditandai dengan arak-arakan potongan batang jagung berbuah matang ke rumah adat. Uniknya, arak-arakan itu hanya melibatkan kaum lelaki. ”Kaum perempuan hanya sebatas membereskan persiapan sejak pengambilan jagung dari kebun hingga rumah. Selanjutnya arak-arakan jagung ke rumah adat hanya dilakukan kaum lelaki. Ini kebiasaan sejak leluhur,” tuturnya Jusuf Boimau.

Agak berbeda, ritual bermakna sama bernama hamis batar di perkampungan Kabupaten Belu melibatkan kaum lelaki dan perempuan hingga arak-arakan buah jagung untuk dipersembahkan melalui pohon usapi dan tiang kurban tola di depan rumah adat.

Buah jagung dalam arak-arakan adalah panenan dari kebun masing- masing keluarga. Setelah berkumpul di pelataran kampung, hasil panen itu selanjutnya secara bersama diarak menuju rumah adat dalam suasana penuh kegembiraan.

”Kalau di Belu, tidak ada pembatasan peserta ketika arak-arakan hasil panen,” tambah tetua lainnya, Soleman Bessie (58), asal Tuapakas, Desa Oni, Kecamatan Kualin, TTS.

Masyarakat NTT, termasuk Timor, sejak lama mengandalkan jagung sebagai bahan pangan utama meski belakangan gengsinya mulai tergusur oleh beras. Itu dimungkinkan oleh topografi NTT yang kering sehingga lebih potensial menjadi lahan kebun jagung.

Tanaman dalam kelompok keluarga Gramineae itu memang tumbuh meluas di NTT meski pola usaha masih dilakukan secara tradisional dan rata-rata belum berorientasi pasar. Lahan kebun umumnya ditanami dengan tumpang sari secara serempak, mulai jagung, padi, kacang-kacangan, hingga umbi-umbian.

Belum diketahui secara pasti kapan jagung mulai dibudidayakan di Indonesia hingga menjadi tanaman pangan utama di NTT. Berdasarkan berbagai sumber, tanaman semusim dengan siklus hidup sekitar 100 hari itu dari Amerika Tengah. Kawasan seperti Meksiko bagian tengah sudah membudidayakannya sejak 10.000 tahun lalu.

Di Indonesia, Jawa Timur adalah provinsi penghasil jagung tertinggi dengan produksi sekitar 5 juta ton. Menyusul Jawa Tengah (3,3 juta ton), Lampung (2 juta ton), Sulawesi Selatan (1,3 juta ton), Sumatera Utara (1,2 juta ton), Jawa Barat (700.000 ton), dan NTT 653.620 ton pada 2011.

Berbeda dengan daerah lainnya, bagi sebagian besar masyarakat NTT, terutama di pedesaan, jagung —juga padi—adalah tanaman ”bernyawa” yang berkekuatan gaib. Karena itu, pembudidayaannya selalu dengan perlakuan khusus.

Seperti dikisahkan Soleman Bessie, masyarakat di pedesaan di Tuapakas, terutama para tetua, hingga sekarang selalu berusaha sedapat mungkin tidak ada bagian hasil panen jagung atau padi berupa bijian sekalipun yang terbuang atau tercecer begitu saja. Mereka beranggapan, hasil panen yang tercecer akan memicu kemarahan roh penunggunya hingga berdampak terhadap penyusutan hasil panen musim berikutnya.

Kisah di Tuapakas itu sebenarnya juga terjadi di pedesaan NTT lainnya meski ritual terkait budidayanya sudah surut jauh. Jusuf Boimau, Soleman Bessie, dan Leonard Nahak berpandangan, ritual dalam budidaya jagung termasuk kearifan lokal yang seharusnya dipulihkan kembali dan dilestarikan. Alasannya, mayoritas warga NTT adalah masyarakat berbudaya jagung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com