Oleh
Penelitian dilakukan di berbagai belahan dunia untuk mengungkap dampak perubahan iklim akibat akumulasi gas rumah kaca di atmosfer. Di Indonesia, survei menunjukkan dampak negatif dan positif. Penelitian ditingkatkan di kawasan laut yang diduga berperan membenamkan karbon.
Sejak Agustus lalu, anomali cuaca El Nino kembali mencengkeram Indonesia. Kehadirannya menggusur La Nina yang bercokol sejak tahun 2010. Kehadiran La Nina berefek kebalikan dengan El Nino. Dipengaruhi La Nina, musim di Indonesia pada tahun 2010 berlalu tanpa kemarau, sepanjang tahun beriklim basah.
Kemunculan El Nino, Agustus lalu, menyebabkan musim kemarau mundur atau lebih lama di banyak zona musim (ZOM). Jika umumnya musim hujan tiba pada September, tahun ini musim hujan baru mulai Oktober. Kemunduran awal musim hujan sesungguhnya terjadi beberapa tahun terakhir.
Munculnya El Nino dan La Nina silih berganti tanpa jeda merupakan indikasi nyata terjadinya perubahan iklim. Begitu kesimpulan Nani Hendiarti, Kepala Bidang Teknologi Pemodelan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang ditemui di sela acara Sail Morotai 2012, akhir pekan lalu.
”Sebelum tahun 2000-an,
El Nino ditandai munculnya kolam hangat (area permukaan laut yang bersuhu lebih hangat daripada sekitarnya) di bagian tengah dan timur ekuator Samudra Pasifik. Hal ini mendorong penguapan air hingga menimbulkan hujan deras di Peru dan Ekuador, tetapi sebaliknya, kekeringan di Indonesia.
Ketika El Nino itu, Arus Laut Lintas Indonesia (Arlindo) yang biasanya masuk dari timur laut Indonesia akan terhambat.
Pantauan satelit SEAWIF (Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor) saat puncak El Nino menunjukkan peningkatan konsentrasi klorofil (plankton) dari skala rendah hingga tinggi di perairan Indonesia, terutama di perairan barat Sumatera, selatan Jawa, hingga Nusa Tenggara. Naiknya klorofil menarik berbagai jenis ikan ke lokasi itu. Kondisi ini memudahkan nelayan menangkap ikan.