Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Kedahsyatan di Sorowako

Kompas.com - 14/09/2012, 16:53 WIB

”Kalau karst ini hilang, kita kehilangan salah satu bukti sejarah terbentuknya Pulau Sulawesi,” katanya.

Tak hanya menandai pergolakan geologi Sulawesi, batuan kapur ini, menurut Imran, juga menandai periode naik-turunnya permukaan air laut pada masa lalu. ”Di Tanjung Birah dan Leang Leang terdapat paleobeach atau pantai purba. Di sana ada tebing yang terabrasi laut yang membuktikan bahwa pada masa lalu kawasan itu pernah berada di tepi pantai. Sekitar 30.000 tahun lalu, air laut di kawasan Asia Tenggara pernah naik hingga 65 meter dibandingkan permukaan sekarang,” kata Imran.

Di goa-goa ini juga banyak ditemukan sampah dapur manusia purba berupa cangkang kerang yang membuktikan kawasan ini dulu berada tak jauh dari laut. Dalam penelitian yang dilakukan Fritz Sarasin dan Paul Sarasin ditemukan umur kerang sekitar 9.000-30.000 tahun lalu.

Jejak tapak tangan berwarna dan aneka lukisan berwarna merah oker di langit-langit goa menguatkan jejak keberadaan manusia purba. Iwan Sumantri, arkeolog Universitas Hasanuddin, mengatakan, karst Maros-Pangkep menyimpan goa atau ceruk yang merupakan situs zaman mesolitik (5.000 tahun sebelum Masehi) dan zaman neolitik (3.000 tahun sebelum Masehi). Di Goa Leang Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, dan Goa Sakapao di Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, misalnya, ditemukan artefak batu, sampah dapur, dan lukisan dinding goa berupa telapak tangan dan babirusa.

Goa pada zaman mesolitik digunakan manusia sebagai tempat singgah. Pada zaman neolitik, goa digunakan untuk tempat tinggal dalam waktu yang lebih lama. Berdasarkan data Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, terdapat 16 situs goa prasejarah di Kabupaten Maros dan 17 situs goa prasejarah di Kabupaten Pangkep.

Selain menyimpan jejak geologi dan arkeologi, susunan karst di Maros-Pangkep ini juga merupakan habitat flora-fauna yang khas. Amran Achmad, guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, menyebutkan, di wilayah karst Maros-Pangkep terdapat tak kurang dari 284 jenis tumbuhan berkayu, sebagian di antaranya adalah endemis.

Fauna khas terutama adalah kupu-kupu, seperti Papilio blumei, P polites, P satapses, Troides haliphron, dan beberapa jenis lain. Selain itu, juga terdapat monyet dare (Macaca maura). Bahkan, Wallace menjuluki Bantimurung sebagai kerajaan kupu-kupu. Ia sangat takjub tatkala menyaksikan ribuan kupu-kupu yang terbang membentuk awan dan memendarkan cahaya keputihan saat kawanan itu singgah di tepi Sungai Bantimurung, Maros.

Wallace mencatat sedikitnya 300 spesies kupu-kupu hidup di dalam kawasan yang kini bernama Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TNBB), sekitar 40 kilometer arah utara Kota Makassar. Wilayah TNBB, yang umumnya berupa perbukitan kapur (karst), kaya akan sumber mata air dan hampir berkondisi lembab sepanjang waktu.

”Kupu-kupu menyenangi tempat basah. Itulah mengapa tak hanya kupu-kupu endemis yang hidup di Bantimurung, tetapi juga yang berasal dari Papua dan Pulau Seram (Maluku),” kata Rusman Muliady, staf Balai TNBB.

Saat ini, perbedaan satwa Sulawesi dan pulau sekitarnya bisa dijelaskan dengan posisi pulau ini yang telah lama terpencil di kepulauan Nusantara. Dari rekam jejak pembentukannya, Sulawesi telah terisolasi oleh lautan dengan pulau-pulau lain sejak tidak kurang dari 10 juta tahun lalu.

Beberapa binatang yang terjebak dan hidup di sana kemudian mengembangkan diri sesuai kondisi alam dan keterasingan ini. Tak hanya beradaptasi, sebagian binatang juga mendapatkan keuntungan dari kondisi alam ini.

Maleo, misalnya, memanfaatkan ladang geotermal untuk menetaskan telurnya. Karena tidak mengerami telurnya, maleo selalu mencari ladang geotermal untuk menghangatkan telurnya.

Demikian halnya babirusa yang memanfaatkan air kaya mineral di adudu. Dalam penelitian yang dilakukan Lynn Clayton (1996) ditemukan, babirusa membutuhkan air garam adudu untuk melindungi pencernaan mereka agar tidak menjadi terlalu asam sekaligus perlindungan dari racun biji buah pangi, makanan utama binatang ini. Analisis geokimia terhadap tanah dan air di adudu menunjukkan, kandungan sodiumnya 36 kali lipat dibandingkan dengan air biasa.(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com