Oleh Ahmad Arif dan M Zaid Wahyudi
KOMPAS.com - Pada Febuari 1858 itu, Alfred Russel Wallace tergeletak di kamar tidurnya, terserang demam, kemungkinan karena malaria. Dari kamarnya di sebuah rumah di Ternate, Maluku Utara, yang disebutkannya tak jauh dari pasar dan benteng, dia menulis surat kepada Charles Darwin. Saat itu, Darwin berada nun jauh di Kepulauan Galapagos.
"Surat dari Ternate" inilah yang kemudian menjadi tonggak penting bagi Darwin untuk menerbitkan bukunya, Origin of Species, pada 1859. Buku ini berisi proses seleksi alam yang memicu evolusi. Dari sini, Darwin dikenal sebagai Bapak Evolusi.
Surat yang dikirim Wallace itu memberi jawaban bagi Darwin tentang fenomena keberagaman hayati: the fittest would survive (individu inferior akan mati dan individu superior akan bertahan).
Surat berjudul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” itu membuka dialektika tentang siapa yang layak menyandang gelar sebagai penemu teori evolusi. Apakah Wallace lebih dulu atau Darwin? Bukankah Darwin baru menerbitkan teorinya setahun kemudian setelah surat Wallace?
Belakangan, dunia pengetahuan mengakui Wallace adalah penemu teori evolusi bersama-sama dengan Darwin. Sebelumnya, hanya Darwin yang menikmati popularitas sebagai penemu teori evolusi.
Ternate, yang menjadi tempat tinggal Wallace selama empat tahun dalam bertahun-tahun pengembaraannya di Nusantara, menjadi sangat populer. Ternate bukan lagi cengkeh dan pala semata, melainkan juga tempat Wallace menuliskan gagasan cemerlang. ”Surat dari Ternate” adalah khazanah berharga perjalanan pengetahuan modern.
Selama di Ternate, Wallace juga melahirkan karya hebat, di antaranya menemukan perbedaan karakteristik flora dan fauna berdasarkan lempeng bumi.
Sebuah garis maya dibuatnya untuk memisahkan antara flora-fauna di Indonesia bagian timur yang ada di Lempeng Australia dan Indonesia bagian barat yang berada di Lempeng Eurasia. Garis yang kemudian dikenal sebagai Garis Wallace ini terentang sepanjang Selat Makassar dan memanjang ke Selat Lombok.
Garis ini tak hanya mengisahkan jalan hidup flora-fauna antarlempeng yang terpisah laut dalam, tapi juga perbedaan karakteristik manusia yang dapat diamati. Wallace mengelompokkan manusia di Indonesia barat dalam ras Melayu dan ras Papua untuk manusia di Indonesia timur.
Di Maluku-lah kedua ras itu bertemu. Wallace menyebut penduduk di Pulau Obi, Bacan, dan Halmahera sebagai perpaduan ras Melayu dan Papua. Perpaduan inilah yang dibuktikan secara genetik pada 2011 oleh sejumlah ahli genetika Indonesia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat dalam ”Genetic Continuity Across a Deeply Divergent Linguistic Contact Zone in North Maluku, Indonesia.
Jejak Wallace
Walllace menjadikan Ternate sebagai tempat singgah dari pengembaraannya ke Halmahera, yang dulu disebutnya Gilolo (mengacu pada nama Kesultanan Jailolo), hingga ke New Guinea (Papua) dan pulau-pulau gunung api di sekitar Maluku untuk mengumpulkan beragam flora-fauna.
Dengan bersemangat Wallace berkisah tentang kota Ternate, yang dinaungi Gunung Gamalama. ”Letaknya sangat strategis sehingga pemandangan di segala penjuru tampak jelas.... Di balik kota, berdiri gunung api yang lerengnya landai dan tertutup pohon buah-buahan lebat,” tulis Wallace saat baru tiba di Ternate pada 8 Januari 1858.
Wallace juga membanggakan rumah di Ternate yang disewa empat tahun. ”Di samping untuk menyusun koleksi (flora-fauna), rumah itu saya perlukan guna memulihkan kesehatan dan mempersiapkan perjalanan-perjalanan berikutnya,” tulisnya.
Dia pun menggambar denah dan mendeskripsikan rumah yang ditinggalinya di Ternate itu. ”...sehingga memungkinkan pembaca untuk mengenal struktur bangunan di Ternate,” tulis Wallace. Di rumah inilah Wallace menulis ”Surat dari Ternate”.
Sekitar 154 tahun kemudian, jejak pengembaraan Wallace di Ternate nyaris tak meninggalkan jejak, selain gang kecil di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, yang diberi nama Lorong Alfred Russel Wallace.