Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Kehidupan Purba di Cekungan Soa

Kompas.com - 18/07/2012, 17:22 WIB

Sekitar 880.000 tahun lalu, Cekungan Soa kembali dihuni. Kali ini bukan oleh gajah kerdil, tetapi oleh serombongan gajah besar (Stegodon florensis), tikus besar, dan komodo. Sekelompok manusia purba juga diduga kembali datang.

Namun, petaka kembali terjadi. Sekali lagi, letusan gunung api mengubur kehidupan yang baru bersemi di Cekungan Soa. Banjir lumpur kembali melapisi dan mengawetkan tulang binatang dan alat-alat batu itu.

Lapisan kehidupan tahap kedua inilah yang ditemukan Iwan Kurniawan, palentolog dari PSG, di lembah sempit yang berada di tengah-tengah Cekungan Soa. Situs yang diberi nama Mata Menge ini berada di ketinggian 325 meter di atas permukaan laut, dikepung perbukitan.

Situs Mata Menge, menurut Iwan, sudah diteliti oleh tim PSG bekerja sama dengan University of New England sejak akhir tahun 1990-an. Penggalian sebelumnya telah menemukan fosil Stegodon florensis, komodo, buaya, dan moluska air tawar. Selain itu juga ditemukan sedikitnya 200 alat batu yang umumnya terdiri atas serpih bilah dan batu inti.

Berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Mata Menge, tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melakukan penggalian di Kobatuwa. Situs ini berupa lembah yang bagian tengahnya dibelah sungai yang mengering saat kemarau. Nama Kobatuwa diartikan penduduk sebagai tali hutan karena wilayah ini dulu merupakan hutan yang ditumbuhi tanaman belukar dengan akar sangat lebat.

”Di Kobatuwa, kami menemukan beragam artefak batu yang melimpah dan fragmen fosil tulang serta gigi hewan vertebrata yang umumnya jenis hewan stegodon,” kata Jatmiko, arkeolog dari Puslit Arkenas. ”Sebagian temuan didapatkan dalam keadaan masih melekat di lapisan tanah aslinya.”

Pada umumnya, temuan artefak di Kobatuwa didominasi jenis alat-alat serpih bilah. Penelitian melalui analisis jejak belah terhadap endapan tufa putih yang melapisi situs mengungkap, situs ini berusia sekitar 700.000 tahun.

Berbagai temuan alat batu ini semakin menguatkan hipotesis Father Theodor Verhoeven bahwa Cekungan Soa pernah dihuni manusia purba. Pada tahun 1968, pastor berkebangsaan Belanda ini menemukan fosil stegodon dan artefak alat batu di Cekungan Soa. Verhoeven yang pernah belajar arkeologi itu menggali lapisan tanah di beberapa lokasi di Cekungan Soa, yaitu Mata Menge, Boa Lesa, dan Ola Bula.

Verhoeven melaporkan temuannya berupa alat batu dan tulang stegodon di balik lapisan abu gunung api. Karena stegodon hidup di Indonesia sekitar 750.000 tahun lalu, dia mengklaim bahwa alat batu itu juga berasal dari tahun yang sama. Namun, temuan itu tak banyak mendapatkan respons karena tiadanya kepastian umur batuan.

Setelah lama terabaikan, tahun 1991-1992, tim gabungan dari The Netherlands National Museum of Natural History bersama dengan PSG yang waktu itu masih bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) melakukan penggalian di Mata Menge. Tim ini juga melakukan pengujian paleomagnetik untuk mengetahui umur lapisan batuan yang mengubur fosil dan artefak batuan.

Pada tahun 1994, P3G melanjutkan penggalian di Cekungan Soa bekerja sama dengan The University of New England, Australia. Penelitian itu berlangsung hingga saat ini dan telah menemukan 12 situs artefak dan fosil. Tersebar di bagian tengah cekungan, di bagian barat dengan situs Mata Menge, Kobatuwa, Boa Lesa, dan Lembah Menge. Di bagian utara terdapat kelompok Tangi Talo dan Ola Bula. Di bagian timur-tenggara terdapat kelompok Dhozo Dalu, Sagala, Ngamapa, dan Kopowatu.

Dari semua situs yang digali, ditemukan aneka jenis binatang purba dan alat batu. Namun, penggalian di Cekungan Soa belum menemukan tulang-belulang manusia purba. ”Berdasarkan bentuk alat-alat batu yang ditemukan, kami menduga manusia purba di sini adalah nenek moyang Homo florensiensis di Liang Bua,” kata Mike. ”Tetapi, semua teori ini masih spekulatif, sampai kami bisa menemukan fosil manusia purba di sini,” kata Mike, arkeolog tua ini sambil menghela napas.

Adam Brumm, research fellow pada University of Wollongong, Australia, mengungkapkan, temuan manusia purba di Flores juga bakal mengubah peta migrasi sejarah manusia. ”Kita akan punya bukti bahwa ada migrasi manusia dari timur. Ini menarik dan pasti akan mengejutkan dunia,” katanya.

Senja temaram di Cekungan Soa. Suasana sepi. Warga lokal yang bekerja sebagai penggali sudah pulang ke rumah. Mike baru saja beranjak dari lubang galian di Mata Menge menuju base camp di Desa Mengeruda ketika dia berkata dengan lirih, ”Satu gigi pun cukup. Satu tubuh, tentu akan lebih baik.”

(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)

Ikuti perjalanan Ekspedisi Cincin Api Kompas di www.cincinapi.com

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com