Eratosthenes membandingkan fenomena yang terjadi di kota Shina (Aswan) dan Alexandria. Ia mengamati bahwa setiap tanggal 22 Juni, sebuah sumur di kota Shina mendapatkan penyinaran menyeluruh, yang artinya Matahari tegak lurus. Sementara itu, tugu di kota Alexandria memperlihatkan bayangan pada tanggal yang sama.
Dari pengamatannya, Eratosthenes percaya bahwa Bumi berbentuk bulat dan bahwa Shina dan Alexandria terletak di Meridien yang sama. Eratosthenes kemudian menemukan sebuah persamaan, bahwa keliling Bumi dibagi jarak dua kota yang terletak pada meridien yang sama, sama dengan 360 derajat dibagi sudut antara dua kota tersebut.
Untuk mengukur keliling Bumi, Eratosthenes menghitung jarak Shina - Alexandria adalah 5000 Stadia (800 km). Pengukuran diperoleh dengan mengalikan waktu tempuh perjalanan yang selama 50 hari dengan kereta berkecepatan 100 stadia. Stadia adalah arena olahraga yang dipakai masyarakat Yunani, berukuran keliling 185 meter.
Eratosthenes berteori bahwa cahaya Matahari yang mencapai Bumi berjalan pararel. Dari hal tersebut, ia mengungkapkan bahwa sudut antara Alexandria dan Shina adalah 1/5 sudut keliling Bumi atau 7,12 derajat. Dengan perhitungannya, Eratosthenes mendapatkan hasil bahwa keliling Bumi adalah 250.000 stadia atau 46.300 kilometer.
Perhitungan Eratosthenes cukup akurat, hanya 15 persen meleset dari perhitungan saat ini. Jarak Shina-Alexandria 729 km, bukan 800 km. Alexandria dan Shina juga tidak terletak pada meridien yang sama, tetapi berbeda 3 derajat. Walau demikian, hasil studi Eratosthenes sangat pantas diapresiasi.
"Biasanya, hari tanpa bayangan Matahari menjadi kesempatan bagi kita untuk mengulang eksperimen yang sama dengan Eratosthenes. Kala 2.200 tahun lalu dia bisa, masak kita tidak bisa," ujar Mutoha.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.