KOMPAS.com — Batas hidup dan mati di Krakatau memang tipis. Kematian satu spesies sering kali menjadi tapak kehidupan bagi spesies lainnya. Perlahan, gelombang laut, angin, dan burung mengantarkan bakal kehidupan ke tabula rasa itu.
Enam bulan setelah Cotteau menemukan laba-laba di Rakata, Verbeek menyaksikan munculnya beberapa bilah rumput. Tiga tahun berikutnya, Treub melaporkan adanya paku-pakuan yang menutupi seluruh interior pulau dari pantai hingga puncak. Selain koloni paku-pakuan, Treub mencatat enam spesies ganggang biru dan hijau yang membentuk lapisan lembab mirip agar-agar dan menjadi lingkungan tempat tumbuh tanaman lainnya.
Lumut memberikan kelembaban yang memungkinkan paku–pakuan seperti paku kinca (Nephroplepis hirsutula) dan paku perak (Pityrogramma calomelanos) berkembang. "Paku-pakuan pun berumur pendek. Setelah mati, jasadnya menjadi habitat baru tanaman lain untuk tumbuh," ujar Tukirin.
Di atas bekas paku-pakuan itu rerumputan mulai berkecambah, disusul alang-alang dan gelagah. Jenis rumput-rumputan itu baru akan tumbuh setelah lahar mendingin, biasanya dua atau tiga tahun setelah letusan. Kehadiran rumput-rumputan menciptakan iklim mikro sederhana yang dapat dimanfaatkan tanaman lain, seperti anggrek tanah.
Pada tahun 1897 atau 14 tahun setelah letusan, pedalaman Pulau Rakata telah ditutupi oleh rumput-rumput tipe savana dengan dominasi gelagah (Saccharum spontaneum) dan ilalang (Imperata cylindrica) yang diselingi kelompok-kelompok kecil pohon. Kehadiran tumbuh-tumbuhan berbunga menambah semarak. Sedangkan pakis dan paku-pakuan tetap berkuasa di dataran yang lebih tinggi.
Di pantai, formasi kangkung laut (Ipomoea pes-caprae) telah merata dan komunitas tanaman pantai seperti keben (Barringtonia asiatica) dan cemara laut (Casuarina equisetifolia) hidup berkelompok di banyak tempat. Kehidupan baru itu disaksikan oleh Boerlage yang mengadakan eksplorasi botani ke Krakatau pada tahun 1896 dan 1897.
"Alang-alang lalu mati, menjadi penyedia humus yang akan ditumbuhi tanaman seperti harendong (Melastoma affine). Lingkungan yang dapat dihidupi perlahan tercipta," ujar Tukirin.
Tahun 1906, vegetasi Rakata semakin kaya. Ahli botani dari Jerman, Erns Alfred, dalam bukunya The New Flora of the Volcanic Island of Krakatau, 1908, mencatat adanya 99 tanaman berbunga. Vegetasi pantai telah berkembang dengan dominasi tanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia), keben (Barringtonia asiatica), ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dan waru laut (Hibiscus tiliaceus).
Perlahan tercipta tanah hutan muda yang berkelanjutan. Pada periode itu pula, tanaman seperti berbagai jenis beringin (Ficus spp), mara (Macaranga tanarius), dan tanaman hutan sekunder lainnya berkembang serta menempati dataran rendah berumput.
Kebanyakan bibit tanaman yang mengisi Rakata diantarkan gelombang laut. "Karena itu, tumbuhan pantai yang pertama muncul," kata Tukirin.
Biji tumbuhan pantai biasanya dilindungi alat apung alami yang membuatnya bisa menyeberangi lautan. Misalnya, kulit buah keben yang kedap air dan berisi spons untuk mengapung. Setelah mendarat di pantai, kulit buah itu akan terdegradasi sehingga air bisa masuk dan merangsang biji keben untuk berkecambah.
Tumbuhan-tumbuhan pionir itu mampu hidup di lingkungan ekstrem yang sedikit unsur hara dan terbatas air. "Tanaman pionir biasanya berumur pendek, cepat tumbuh, daunnya lebar, dan sistem perakarannya dalam. Pemencarannya efektif, begitu sampai dan lingkungan memungkinkan untuk hidup, dia pun cepat bertumbuh," ujar Tukirin.
Benih lain yang sampai di pantai, tetapi bukan merupakan tanaman pionir, tidak akan tumbuh. Tukirin lalu memungut buah nipah yang tergeletak di pesisir. "Ini tidak akan dapat bersemai di Pulau Krakatau karena nipah butuh tumbuh di air sadah dan berlumpur. Ini jenis mangrove dalam," ujarnya. Setelah vegetasi pantai berkembang, burung dan kelelawar pemakan buah hadir dan memencarkan biji berbagai jenis tumbuhan ke tempat yang lebih jauh.
Peneliti Krakatau dari Universitas Utrecht, Tracey Louise Parrish, menuliskan dalam Krakatau: Genetic Consequences of Island Colonization, bahwa semua kehidupan di Krakatau diasumsikan berasal dari luar Krakatau. Cikal-bakal kehidupan itu setidaknya menempuh jarak 30 kilometer atau lebih dari pesisir terdekat pulau besar seperti Jawa dan Sumatera.
Pulau-pulau lain yang lebih dekat dengan Krakatau, seperti Sebesi dan Sebuku, juga berperan besar sebagai sumber hayati. "Semakin habisnya hutan-hutan di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sebesi memperlambat suksesi di Krakatau. Satu-satunya hutan yang masih menyediakan benih tinggal Ujung Kulon," ujar Tukirin.
Sebagai pulau terbesar dan tertinggi dalam gugusan Krakatau, Rakata menjadi satu-satunya pulau dengan tingkat perkembangan komunitas vegetasi paling matang tanpa terlalu banyak terganggu letusan Anak Krakatau. Luas pulau dan ketinggiannya yang bervariasi membuat lebih banyak jenis tumbuhan dapat hidup.
Pola suksesi di dua pulau lainnya di kompleks Krakatau, Sertung dan Panjang awalnya juga nyaris serupa dengan di Rakata. Vegetasi di kedua pulau itu secara umum menunjukkan tipe serupa meski kehadiran dan kelimpahan jenis tumbuhan penyusun hutannya secara lokal berbeda. Sampai kemudian muncul Anak Krakatau di permukaan perairan.
Anak Krakatau yang meletus nyaris tiap tahun memberikan arah suksesi yang berbeda pada Pulau Panjang dan Sertung. Secara geografis, kedua pulau ini terletak lebih dekat dari Anak Krakatau dibandingkan Rakata. Timbunan abu letusan Anak Krakatau yang sering mencapai ketebalan hingga satu meter, menurut Tukirin, sangat memengaruhi perkembangan vegetasi di dua pulau itu. Tak mengherankan, sejak tahun 1930-an tutupan hutan di kedua pulau ini secara umum didominasi jenis kedoya (Desoxylum gaudichaudianum) dan ketimunan (Timonius compressicaulis). Dua jenis pohon yang pemencarannya dibantu burung ini mampu beradaptasi terhadap timbunan abu vulkanik.
Agustus 2011, ketiga pulau di kompleks Krakatau ini ibarat gundukan yang permukaannya dilapisi karpet hijau tebal. Semakin perahu mendekat ke bibir pantai di Pulau Rakata, semakin jelas tampak pohon-pohon keben berjajar di pantai. "Inilah keajaiban alam yang dihadirkan Krakatau dan menarik perhatian semua ahli biologi di seluruh dunia," kata Tukirin.
Dari Krakatau, para ahli itu belajar tentang proses dasar pembentukan ekosistem pulau kecil yang ternyata sangat kompleks. Ada faktor pemencaran, invasi, persaingan, adaptasi, hingga kepunahan. "Dari Krakatau kita bisa belajar untuk memahami proses pembentukan hutan. Pengetahuan ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman ketika kita ingin merestorasi hutan-hutan kita yang rusak di tempat-tempat lain," ujarnya.
Bagi Tukirin dan para ahli biologi, kompleks Krakatau itu merupakan buku yang menyimpan jawaban penting tentang kehidupan. Berbeda dengan para vulkanolog dan geolog, yang menelisik tentang dahsyatnya letusan Krakatau di masa lalu dan bagaimana kita harus terus bersiaga terhadapnya, Tukirin dan para biolog mengamati bagaimana daya hidup bisa bermula dan berkembang dari tabula rasa yang diciptakan sebuah letusan gunung api. Inilah sisi lain Krakatau yang jarang dilihat.
Daya rusak letusan gunung api ternyata diimbangi daya hidup dengan kekuatan setara untuk bangkit dari kehancuran. Unsur penting bagi kehidupan itu ternyata adalah berbagai jenis spesies kecil nyaris tak terlihat yang mengerumuni lapisan belerang panas.(Tim Penulis: Ahmad Arif, Indira Permanasari, Yulvianus Harjono, C Anto Saptowalyono)
Ikuti perkembangan Ekspedisi Cincin Api di: www.cincinapi.com atau melalui Facebook: ekspedisikompas atau Twitter @ekspedisikompas
Baca juga artikel-artikel sebelumnya:
- Laba-laba Bangkitkan Kehidupan di Krakatau
- Krakatau Menyingkap Rahasia Kehidupan
- Galapagos Versus Krakatau
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.