Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sejarah Masa Depan" dan Globalisasi

Kompas.com - 30/11/2011, 03:25 WIB

Dalam sains, kompleksitas suatu permasalahan coba disederhanakan dengan memasukkan sejumlah asumsi yang memunculkan sejumlah variabel, dengan pemikiran secermat-cermatnya akan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Kelemahannya, terbuka kemungkinan ada variabel penting yang tercecer. Selain itu, jangan lupakan bantuan besar dari teknologi dan ilmu pengetahuan sendiri.

Sejarah masa depan

Ketika kita tak berhasil secara tuntas menyingkap keseluruhan fenomena, tetapi kita bisa meneropong ke masa depan, berpijak dari kondisi sekarang, di sanalah kita bisa memulai sebuah kisah. Penyederhanaan tersebut memungkinkan kita ”menuturkan sejarah masa depan” (The Greenhouse Challenge, 1989). Menuturkan ”sejarah masa depan” karena kita sebenarnya tak tahu masa depan bakal seperti apa karena dia belum tiba. Namun, kita bisa memiliki gambaran akan masa depan berdasarkan gambaran yang kita miliki pada masa sekarang.

Ilmu terus berkembang, teknologi terus berkembang. Penuturan akan masa depan akan terus terjadi dengan metode yang sama. Kita bertutur dengan harapan gambarannya akan semakin akurat. Itulah yang terjadi dengan penuturan perubahan iklim. Semua bencana iklim diklaim sebagai akibat dari pemanasan global.

Hal nyata yang tak bisa ditolak adalah berlipat gandanya intensitas bencana memang kongruen dengan peningkatan konsentrasi GRK. Maka, kita lebih baik menggunakan bahasa perubahan iklim atau iklim ekstrem. Pasalnya, soal pemanasan global masih dibelit berbagai persoalan keilmuan.

Globalisasi vs internasionalisasi

Tinggalkan pembicaraan ilmu pengetahuan, mari kita ke meja perundingan di Durban. Perundingan di sana bukan didasarkan pada meteorologi atau klimatologi. Ilmu politik dan ekonomi telah berkelindan, dengan amat rumitnya dalam proses perundingan. Perhitungan untung-rugi secara materi dan sumber daya menjadi basis. Bencana yang mengancam manusia bukan lagi dasar perundingan.

Berbicara soal iklim ekstrem adalah berbicara soal ratusan juta manusia yang bakal tergusur dari tempat tinggalnya akibat bencana ekstrem, seperti banjir yang berminggu-minggu melanda Thailand dan Australia atau kekeringan yang memicu konflik antarsuku di Darfur, Afrika.

Tak heran jika upaya menahan laju emisi GRK menjadi seret. Periode kedua Protokol Kyoto sedang dalam pertaruhan. Tahap pertama protokol yang berakhir tahun depan telah gagal. Emisi GRK bukannya turun, melainkan justru meningkat dua digit.

Tata dunia global berlaku. Semua harus mengikuti satu pola, dan pola itu dikenakan oleh pihak yang kuat, oleh negara-negara kaya. Internasionalisasi ditinggalkan. Dalam pendekatan internasionalisasi, kedirian dan kekhasan setiap bangsa atau negara dihormati. Penderitaan dan seruan putus asa masyarakat Maladewa akan didengar dan mereka bakal dibantu. Bisa saja mereka sebenarnya memiliki jawab dari persoalan yang dihadapi. Hanya, mereka butuh dibantu untuk tegak berdiri sebab sumber daya bukan lagi milik mereka....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com