KOMPAS - Udara sejuk membuat sinar matahari terasa lembut. Hamparan ladang sayur menghijau, memanjakan mata. Berseling dengan tanaman jeruk yang menguning. Ungkapan ”Tanah Karo Simalem”, Karo yang nyaman dan menyenangkan, terasa pas betul.
Suasana itu tak lepas dari kehadiran gunung-gunung yang mengelilingi Karo, utamanya dua gunung api aktif, Sibayak dan Sinabung. Diberkahi tanah subur hasil pelapukan material vulkanik selama ribuan tahun, limpahan air dari lereng pegunungan, dan udara yang sejuk menjadikan Karo sebagai pusat sayuran terbesar di Sumatera Utara.
Kabupaten Karo terletak sekitar 77 kilometer arah selatan Medan. Berada di ketinggian 800-1.400 mdpl, suhu udara di sana terasa sejuk, rata-rata 17-20 derajat celsius. Sayuran dan buah-buahan menjadi denyut nadi masyarakat setempat. Sebanyak 72,3 persen dari 370.619 penduduk Kabupaten Karo hidup sebagai petani.
Sri Alem Sembiring, Antropolog dari Universitas Sumatera Utara, mengungkapkan, kepiawaian masyarakat Karo dalam bertani diwariskan turun-temurun. Mereka mengembangkan
pola bertani yang mencampur berbagai jenis tanaman dalam satu lahan. ”Tanpa sadar mereka memerhatikan keanekaragaman hayati,” ujarnya.
Pada tahun 1950-an, petani Karo sempat mengalami masa keemasan dengan mengekspor sayuran ke Singapura dan Malaysia.
Ruang spiritual
Ketergantungan ekonomi terhadap lingkungan membuat gunung-gunung mendapat tempat tinggi dalam alam pikir warga. Gunung juga menjadi ruang spiritual bagi masyarakat Karo.
Di Gunung Sibayak, ruang-ruang spiritual itu tampak jelas. Suatu siang di pertengahan Juli 2001, di kolam pemandian air panas Lau Debuk-Debuk, Sabar Kita Karo dan Baginta Simanjorang menggelar tikar dan menyusun sesaji dengan arah hadap ke Gunung Sibayak.
Sabar berkeramas di salah satu kolam air panas, kemudian membungkus kepalanya dengan kain putih. Di atas tikar mereka menggelar sesaji berupa rokok yang dijepitkan ke ranting, kelapa, pisang, dan sirih. Bagi Sabar, Sibayak merupakan rumah leluhur. Sebulan sekali dia melakukan ritual di sana.