KOMPAS.com - LAPAN saat ini tengah menggiatkan pengembangan INDOMI (Indonesia Monsoon Index). Pengembangan dilakukan dengan Radar Atmosfer Khatulistiwa (RAK), radar terbesar dan terlengkap di khatulistiwa setelah MST (Mesosphere Stratosphere Thermospeher) Radar yang ada di India dan Peru.
Dr Eddy Hermawan, peneliti radar dari LAPAN mengatakan, bahwa INDOMI sudah dikembangkan sejak 2 tahun lalu dan masih berlangsung sampai sekarang. Tujuan pengembangan ini adalah melengkapi pemahaman tentang Monsoon yang berdampak pada iklim Indonesia dan global.
"Selama ini orang memahami Monsoon itu curah hujan, padahal sebenarnya berkaitan dengan angin. Lalu juga selama Monsoon itu dipahami di lapisan bawah atmosfer, padahal di lapisan atas," kata Eddy saat ditemui di gedung BPPT Jakarta, kemarin (22/9/20111).
Menurut Eddy, pemahaman mendasar tentang Monsoon tersebut harus diketahui masyarakat. Dengan demikian, RAK tidak hanya menghasilkan penemuan yang langsung bisa diaplikasikan tetapi lebih pada penguatan kapasitas.
Meski demikian, dengan pengembangan INDOMI, beberapa aplikasi praktis sudah terbayangkan. Misalnya memahami fenomena musim basah panjang dan kemarau panjang yang dalam konteks Indonesia berkaitan erat dengan angin barat dan angin timur.
"RAK bisa melihat pola angin secara 3D. Jadi, pergerakan angin bisa diketahui, lokasinya dimana dan waktunya kapan. Dengan adanya indeks Monsoon ini nanti kita bisa mengetahui kapan terjadinya musim basah panjang dan kemarau panjang," jelas Eddy.
10 Tahun Beroperasi RAK adalah radar terbesar di Indonesia yang ditempatkan di Kotatabang. Radar ini punya kelebihan sebab memiliki antena putar, didesain untuk mencitrakan secara 3D dan bisa memetakan fenomena elektromagnetik pada jarak hingga 100 km.
Radar ini adalah hasil kerjasma LAPAN dengan Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH) di Universitas Kyoto, Jepang. Hingga saat ini, RAK telah beroperasi selama 10 tahun.
Peringatan 10 tahun beroperasinya radar ini digelar kemarin di gedung BPPT Jakarta. Setelah 10 tahun beroperasi, beberapa hasil telah didapatkan.
"Dinamika atmosfer di ekuator dan prosesnya semakin banyak yang terkuak. Misalnya tentang plasma bubble, bagaimana naik ke atas," kata Mamoru Yamamoto, professor dari RISH.
Yamamoto menambahkan bahwa beberapa fenomena berhasil ditangkap RAK. "Contohnya, sebelum tsunami Aceh pada 26 Desember 2006, RAK menangkap dinamika atmosfer yang berbeda, meski masih perlu diteliti apakah hal tersebut betul-betul berkaitan dengan tsunami," tambah Yamamoto.
Saat ini, tengah ada proposal kerjasama RISH dan LAPAN lagi untuk menambah radar guna memahami lebih lanjut dinamika atmosfer. Radar tambahan itu 10x lebih sensitif dari RAK. Perwujudan proposal ini akan membantu memperluas pemahaman tentang dinamika atmosfer khatulistiwa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.