Jakarta, Kompas
Di lapangan, alat berat sudah meratakan areal hutan konservasi dan kebun masyarakat hingga sejauh sekitar 5 kilometer dengan lebar 30 meter dari kawasan Cilintang menuju Aermokla. Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Agus Priambudi mengaku kecolongan atas keberadaan dan aktivitas alat berat di dalam kawasan konservasi tersebut.
Ia mengetahui kondisi itu pada 22 Juni 2011 dan mengeceknya. Pada 25 Juni 2011, pembongkaran lahan dihentikan. ”Kami meminta dihentikan sampai Pak Widodo Ramono (Ketua Yayasan Badak Indonesia) menyelesaikan perizinan, studi kelayakan, dan memperbaiki apa yang masih kurang seperti rekomendasi/masukan tim Environmental Risk Assessment,” kata Agus di Jakarta, Selasa (19/7).
Secara terpisah, Ketua Pengurus Yayasan Badak Indonesia Widodo S Ramono mengatakan, izin telah didapat dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), dalam hal ini Balai TNUK. Memasukkan alat berat, menurutnya, telah dibicarakan dengan Kepala Balai TNUK Agus Priambudi sekitar tanggal 21 Juni 2011 di kantor Kementerian Kehutanan, Jakarta.
Ia juga mengatakan, proposal program sudah disetujui Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati atas nama PHKA.
Terkait dengan pernyataan Direktur Jenderal PHKA Darori yang mengaku telah menerbitkan izin (
Agus menjelaskan, proposal pembangunan The Javan Rhino Sanctuary (sebelum berganti nama menjadi Javan Rhino Study and Conservation Area/JRSCA) telah disetujui Kementerian Kehutanan. Dalam dokumen, proposal pembangunan JRSCA dimohonkan Ketua Pengurus Yayasan Badak Indonesia Widodo S Ramono dan Kepala Balai TNUK Agus Priambudi yang diketahui Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Ditjen PHKA Harry Santoso.
Ihwal hutan yang telanjur dibongkar, Agus mengatakan ”hanya” sejauh 100 meter. Laporan yang menyebutkan pembongkaran sudah sejauh 5 kilometer, menurut dia, hanya kebun masyarakat yang merambah area taman nasional. Berdasarkan pengamatan
Menanggapi kasus ini, Koalisi Penyelamatan Konservasi Ujung Kulon, Selasa, menegaskan, pembongkaran lahan di taman nasional merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, koalisi yang beranggotakan aktivis konservasi badak dan lembaga nonpemerintah (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Silvagama, Jaringan Pendidikan Lingkungan, dan Sajogyo Institute) mendesak proyek tersebut dihentikan.