Ditemui di kantornya, Senin (23/5), Budi menegaskan, selama belum ada kepastian hukum bahwa tanah itu milik keraton, maka pihak keraton tidak mendirikan bangunan ataupun menanam pepohonan di wilayah hutan tanpa izin Perhutani.
Terpisah, Sultan Sepuh
Kepemilikan itu, katanya, sebagaimana digambarkan dalam peta kadaster yang dibuat Belanda tahun 1854-1857. Peta itu menunjukkan wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon yang juga meliputi daerah yang disebut partikuliere landen van Kandang Hawoer en Indramayu.” Daerah itu meliputi 16 kecamatan di Indramayu sampai Kertajati di Kabupaten Majalengka. Luasnya mencapai 300.000 hektar.
Sultan menegaskan, berbeda dengan keraton lain yang tercatat sebagai daerah swapraja, Cirebon tidak tercatat sebagai daerah swapraja.
Artinya, lanjut Sultan, Kesultanan Cirebon juga tidak terikat dengan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960. ”Karena kami pada pemerintahan Belanda tidak terikat kontrak politik dengan Belanda,” katanya. Adapun PP Nomor 224 Tahun 1961 sebagai pelaksana UU Pokok Agraria menyebutkan, tanah swapraja dan eks-swapraja yang mesti dialihkan kepada negara.
Sebagai daerah partikelir, kawasan Indramayu yang disengketakan itu bisa diambil alih oleh negara asalkan ada kompensasi kepada pemilik sah. ”Hal itu diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Tanah Partikelir. Selama ini tidak ada kompensasi dari negara,” kata Arief.
Sementara itu, warga Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, menginginkan lahan yang selama ini mereka garap agar menjadi hak milik. Pengelolaan oleh KPH Indramayu dinilai merugikan penggarap, karena ada oknum di lapangan yang mengintimidasi warga dan menarik biaya bibit pohon.
Hal itu dikemukakan sejumlah warga saat ditemui di Blok Tanjungjaya, Desa Mekarjaya, Minggu lalu. Untuk merealisasikan hal itu, ribuan warga membuat pernyataan di atas meterai, yang isinya membenarkan tanah hutan itu adalah lahan Keraton Kasepuhan Cirebon.