KOMPAS.com - Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia membudidayakan ratusan anggrek spesies endemik dari berbagai wilayah di Indonesia. Namun, sebagian besar tak bisa dikembalikan ke lokasi asal karena habitat rusak.
"Seperti koleksi anggrek Tien Soeharto (Cymbidium hartinahianum), endemik Tapanuli Utara, habitatnya berkurang drastis," kata Sofi Mursidawati, peneliti anggrek Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Selasa (20/4/2011) di Bogor.
Anggrek Tien Soeharto ditemukan tahun 1976 oleh peneliti LIPI, Rusdi E Nasution. Pemberian nama Tien Soeharto sebagai penghargaan kepada Ibu Negara atas upaya pelestarian anggrek di Indonesia.
Anggrek Tien Soeharto sangat langka. Pertumbuhannya sangat lambat. Anggrek itu tumbuh baik pada ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut.
Daunnya berbentuk pita memanjang hingga 50 sentimeter. Bunganya kuning kehijauan dan permukaan bawahnya kecoklatan dengan warna kuning pada bagian tepinya.
Koleksi anggrek spesies Rumah Anggrek Kebun Raya Bogor lebih dari 500 jenis. Seratusan spesies di antaranya bisa diperbanyak dalam botol kultur jaringan. "Spesies endemik lainnya yang kehilangan habitat, seperti anggrek macan (Grammatophyllum speciosum)," kata Sofi.
Anggrek macan berbunga kuning kehijauan dan bertutul kecoklatan adalah endemik hutan dataran rendah. Habitat itu rusak akibat perubahan fungsi hutan.
"Ada anggrek ekor tikus (Paraphalaenopsis serpentilingua) dengan lokasi endemik Kalimantan Barat yang juga terancam di habitat aslinya," kata Sofi.
Tujuan awal budidaya anggrek di Rumah Anggrek adalah menyelamatkannya dari ancaman kepunahan. Selain itu, juga mengembalikan ke alam aslinya seiring keberhasilan pengembangbiakan di rumah kaca.
Namun, lanjut Sofi, kondisi habitat asli anggrek-anggrek langka terus terancam perusakan. Mengembalikan anggrek-anggrek langka tanpa adanya perlindungan nyata akan sia-sia.