Kemauan keras dan kesungguhan Samuel untuk menghutankan Bukit Tunggal kemudian juga mendapat dukungan dari banyak orang. Mereka dengan sukarela turut menyumbang dana atau bibit tanaman.
Tahun 2000-an awal
Dusun Gunung Benua bisa dikatakan termasuk kawasan yang sulit dijangkau karena tidak ada fasilitas jalan yang memadai. Dusun itu hanya bisa diakses dengan transportasi sungai. Ini pun masih harus disambung dengan berjalan kaki.
Belakangan ini Dusun Benua dan Bukit Tunggal telah dilintasi jalan trans-Kalimantan. Walaupun belum seluruhnya diaspal, jalan ini telah membuka akses transportasi di kawasan itu. Pembukaan jalur itu pula yang mempercepat ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah ini.
Setelah hampir 10 tahun ditanami, Bukit Tunggal menunjukkan manfaatnya. Setiap musim kemarau, air bersih di kawasan ini melimpah dan bisa diakses penduduk Kampung Pario, Penyauk, Kijang Berantai, dan Gunung Benua.
Bukit Tunggal juga menjadi semacam oase di jalur trans-Kalimantan, di antara Sungai Ambawang dan Tayan, Kabupaten Sanggau, yang gersang dan sebagian sisi jalannya dipenuhi perkebunan kelapa sawit.
Bukit Tunggal yang diawasi dan dikelola komunitas Kapusin sering menjadi tempat penelitian mahasiswa. Di Bukit Tunggal, jenis pohon yang ditanam umumnya pohon lokal Kalbar, seperti belian atau ulin, ramin, tengkawang, dan meranti. Sebagian lahan juga ditanami pohon buah lokal Kalbar yang hampir punah, seperti jantak, rambutan hutan, langsat, mangga, serta durian lokal.
”Saya juga bercita-cita menjadikan Bukit Tunggal sebagai arboretum, ’museum’ pohon-pohonan. Saya berharap, keinginan itu bisa tercapai karena kami terus melakukan penanaman,” ujar Samuel.
Akrab dengan alam
Kegigihan Samuel mewujudkan Bukit Tunggal sebagai hutan konservasi bukan kebetulan. Sebagai biarawan asli Dayak Menyuke, Samuel bisa dikatakan akrab dengan alam sejak dilahirkan.