Korban tewas adalah Darwanto Odang (35), pengusaha tambak di Kampung Holtekamp. Jenazah Darwanto ditemukan pada Sabtu (12/3) siang sekitar 100 meter dari bibir pantai dan sepeda motornya ditemukan sekitar 50 meter dari bibir pantai.
Sekretaris Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah Kota Jayapura Yohanis Wemben mengatakan, tsunami di Holtekamp terjadi setelah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencabut status waspada tsunami sekitar pukul 21.00 WIT.
”Setelah waspada tsunami dicabut, korban yang semula mengungsi kembali ke rumahnya, tetapi justru saat itu air laut mulai bergolak,” kata Yohanis.
Tsunami di Kampung Holtekamp juga merusak sebuah jembatan, tiga rumah, serta menghanyutkan tiga rumah lainnya dan sejumlah perahu nelayan. Di Kampung Enggros, tsunami merusak enam rumah warga dan menghanyutkan dua rumah.
Kampung Enggros merupakan kampung nelayan yang berada di kawasan Teluk Youtefa. Rumah- rumah di kampung itu berupa rumah panggung dan didirikan di atas permukaan laut. Ketika polisi menginformasikan adanya ancaman tsunami, warga bergegas mengungsi ke Abepura menggunakan perahu motor.
Sebagian warga tinggal untuk berjaga-jaga. Seorang saksi mata, Yosias Hamadi (48), mengatakan, gelombang pasang setinggi lebih kurang 1 meter datang sekitar pukul 21.00 WIT dan membanjiri rumah warga. ”Lalu segera menyusut. Tenang sebentar, kemudian datang lagi. Alun gelombang baru mereda tadi sekitar pukul 05.00,” kata Yosias, Sabtu.
Yansen Hanasbey (69), warga Enggros, mengatakan, tsunami tersebut merupakan pengalaman ketiga baginya. Kejadian pertama pada 1960 dan kedua pada 1961. ”Meski banyak rumah hancur dan hanyut terbawa air, tak ada satu pun korban jiwa,” katanya.
Kejadian pada 1960 dan 1961 itu memberikan pelajaran bagi warga untuk waspada jika melihat air laut tiba-tiba surut. Ketika melihat tiba-tiba air laut surut, Jumat, warga pun segera menjauh dari pantai. Hingga kemarin, warga Kampung Enggros masih mengungsi di rumah kerabat mereka di Abepura.