Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena Kolam Hijau di Kutub Selatan

Kompas.com - 02/03/2011, 23:43 WIB

KOMPAS.com - Sebuah kolam yang dipadati kehidupan ditemukan di antara es di Kutub Selatan. Kolam yang dikelilingi es warna putih tersebut berisi air berwarna hijau sehingga terlihat mencolok dibanding perairan sekitarnya. Kata para ilmuwan, inilah anugerah pemanasan global.

Menurut mereka, kolam di daerah terpencil itu berwarna hijau akibat klorofil dari ganggang yang terdapat di situ. Di kolam itu pula didapati krustasea kecil, ikan, larva udang.

"Ini kolam terhijau yang pernah saya lihat," kata Patricia Yager, kepala ilmuwan Amundsen Sea Polynya International Research Expedition (ASPIRE). Yager mengutarakan kalau jumlah klorofil per liter di kolam itu lima kali lebih banyak dibandingkan beberapa tempat di Sungai Amazon.

Kolam yang dikelilingi oleh es laut seperti ini sering disebut dengan istilah polynya. Perairan seperti ini biasanya kaya nutrisi dan menjadi tempat bernaung bagi binatang, baik besar maupun kecil. Demikian jelas Yager.

Polynya bisa terbentuk dengan dua alasan: angin yang meniup bongkah es menjauh dari pantai dan udara atau air hangat mencairkan es. Ketika es mencair, nutrisi turut terlepas ke laut. Nutrisi yang kebanyakan penting bagi tumbuhan itu membuat ganggang berkembang.

"Ketika gletser dan es laut di bagian barat Kutub Selatan mencair karena pemanasan global, lebih banyak nutrisi yang mengalir ke lautan dan membuat ganggang berkembang semakin luas," Yager menjelaskan.

Menurut Yager, ledakan jumlah ganggang ini bisa jadi anugerah karena ganggang melahap karbon dioksidad akibat efek rumah kaca. "Tapi ini baru satu sisi," katanya.

Ia mengatakan kalau ganggang menjadi makanan bagi zooplankton yang melepaskan karbon dioksida ke atmosfer saat bernapas. Yager juga menyebutkan bakteri yang mengurai ganggang mati dan mengubah karbon menjadi karbon dioksida.

Meskipun demikian, untuk saat ini, kolam polynya merupakan hal yang baik bagi iklim Bumi karena mereka memerangkap karbon. "Tapi hanya itu saja," kata Lisa Miller, ahli biologi kelautan dari Fisheries and Oceans Canada. (National Geographic Indonesia/Alex Pangestu)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau