KOMPAS.com — Hutan, bagi masyarakat Dayak, tidak ubahnya pasar swalayan yang menyediakan semua kebutuhan hidup. Penjarahan kayu yang tak terkendali, disusul demam perkebunan kelapa sawit, kini menyebabkan masyarakat Dayak kehilangan sumber penghidupan.
Dipelopori biarawan dari Ordo Fratrum Minorum Capusin (OFM Cap) Provinsi Pontianak, masyarakat Dayak berusaha menghutankan kembali tanah adat yang telah gundul.
”Awalnya sulit meyakinkan masyarakat. Tetapi, setelah melihat mata air tak pernah kering ketika musim kemarau, semua orang baru percaya,” kata Propinsial OFM Cap Pontianak Samuel Sidin Oton OFM Cap saat ditemui di Bukit Tunggal, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, pekan lalu.
Bukit Tunggal adalah salah satu bukit di jalur trans-Kalimantan. Bersama masyarakat, Samuel dan sejumlah biarawan OFM Capusin menjadikan Bukit Tunggal seluas 100 hektar sebagai hutan konservasi.
Upaya konservasi secara mandiri itu dimulai Samuel tahun 1998, yang dilatarbelakangi kekhawatiran akan dampak buruk pembalakan hutan liar di Kalimantan Barat.
Samuel dan Benedictus adalah biarawan asli Dayak. Samuel dari Dayak Menyuke, sedangkan Benedictus dari Dayak Bidayuh. Cita-cita mereka sederhana: membuat lingkungan yang lestari di tengah ancaman bencana dan tekanan perkebunan kelapa sawit.
”Kami lakukan sebisa kami dari upaya yang kecil ini. Udara yang sangat segar dan air yang mengalir sepanjang tahun ini rasanya adalah awal yang bagus untuk terus melestarikan hutan,” kata Guardian atau Kepala Rumah Pelangi, Bukit Tunggal, Benedictus OFM Cap. Rumah Pelangi adalah pusat kegiatan di Bukit Tunggal.
Kesulitan
Samuel memulai proyek impian itu dengan membeli sebidang tanah dari masyarakat setempat pada 1998. ”Kami sempat kesulitan menjelaskan bahwa hutan yang akan kami kelola itu tidak ada unsur bisnisnya sama sekali. Ketika itu penguasaan lahan untuk kelapa sawit sudah mulai marak. Kami akan menghutankan lahan tersebut murni untuk melestarikan alam agar masyarakat sekitar mendapatkan dampak positif,” kata Samuel meyakinkan.
Melalui pendekatan yang intensif, sebagian masyarakat akhirnya mau menjual lahannya, dan kini telah mencapai 100 hektar. Biaya pembelian lahan itu dari kas Ordo. Uang yang sudah dikeluarkan untuk membeli tanah sekitar Rp 700 juta. Ditambah dengan pembelian bibit untuk penanaman yang dimulai tahun 2000, lanjut Samuel, biaya yang dikeluarkan sudah lebih dari Rp 1 miliar.