Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelopor Fotografi Buta di Indonesia

Kompas.com - 18/11/2010, 02:43 WIB

Selulus dari SSRI/SMSR pada 1970, Risman merantau ke Yogyakarta. Saat itu bisa dikatakan belum ada mahasiswa asal Sumatera Barat yang belajar ke Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta) sehingga sebutan sebagai ”pembabat alas” tak bisa dilepaskan darinya.

Setelah itu, setiap calon mahasiswa asal Sumbar yang hendak belajar ke ISI Yogyakarta hampir bisa dipastikan menemui Risman terlebih dahulu. ”Kadang, kalau saya sedang pulang ke Bukittinggi, beberapa di antara calon mahasiswa itu menemui saya,” katanya.

Kini banyak alumnus ISI Yogyakarta asal Sumbar yang sebelumnya juga bersekolah di SSRI/SMSR, seperti pelukis pembaru kaligrafi Syaiful Adnan, pematung Yusman, dan pelukis kontemporer Stefan Buana.

Menurut Risman, melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ”ASRI” Yogyakarta (kini ISI Yogyakarta), bagi murid SSRI/SMSR Padang pada masa itu, merupakan impian yang seakan terpatri sejak dini. Pada masa itu, di dinding kelas dipajang karya-karya yang menginspirasi siswa untuk melanjutkan belajar ke Yogyakarta.

Gegar budaya

Masa awal tinggal di Yogyakarta, gegar budaya menjadi masalah serius yang mesti dia geluti. Penderitaan itu termasuk perbedaan masakan dan kendala dalam berbahasa. Namun, yang paling terasa bagi Risman adalah penilaian atas hasil karya-karyanya yang—dalam ingatannya—dilakukan dengan ”kejam”. ”Padahal, (karya) saya di Sumbar sebelumnya dielu-elukan orang,” kata Risman berseloroh.

Namun, begitu memasuki atmosfer berkesenian di Yogya, karya Risman rupanya belum ”dianggap”. Pada masa itu, ceritanya, karya lukisan yang dinilai buruk akan ditelungkupkan kertasnya atau dibalik sehingga mustahil bagi orang lain untuk melihat.

Belajar dari pengalaman, dia lalu mengurangi waktu tidur dan mulai berkelana bersama teman-temannya untuk membuat sketsa di kawasan Malioboro. ”’Apelnya’ pukul 19.00-20.00 di sekitar Tugu, setelah itu kami terus berjalan ke arah Malioboro untuk membikin sketsa,” kata kakek tiga cucu ini.

Keuletan serta keluwesan Risman dalam bergaul membuatnya cepat diterima. ”Syarat bisa cepat membaur, cepat dapat ilmu, serta berkembang adalah jangan tinggal satu asrama dengan teman-teman sedaerah asal,” katanya.

Keteguhan Risman membuahkan hasil. Pada bulan ketiga di Yogya, ia berhasil masuk 10 besar. Satu bulan berikutnya, karya-karya dia sudah dinilai sebagai lima besar terbaik. Jadilah semester perdana itu dia berhasil memperoleh indeks prestasi tertinggi.

Lulus sarjana muda dari STSR ASRI, dia sesungguhnya diharapkan kembali ke Padang untuk mengajar di SSRI. Namun, pihak STSR ASRI menawarinya mengajar dan meneruskan kuliah hingga mencapai gelar sarjana.

Risman merasa mantap tinggal di Yogya, apalagi setelah menikahi putri pelukis Widayat, Diyah Widiyanti Widayat, pada 1976. Kariernya sebagai dosen yang diimbangi beragam pencapaian di bidang fotografi perlahan merangkak.

Ia juga dipercaya menjadi salah satu pendiri Fakultas Seni Media Rekam (Multimedia) ISI Yogya dengan jurusan fotografi dan televisi pada 1994. Namun, semua pencapaian itu tetap membuat Risman gusar dengan dunia pendidikan seni menengah di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com