Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kawah Besar Terbentuk di Merapi

Kompas.com - 07/11/2010, 07:33 WIB

Aktivitas Merapi masih berintensitas tinggi. Oleh karena itu, status masih tetap dipertahankan pada level IV atau "Awas Merapi dan Awas lahar". Wilayah aman bagi pengungsi masih berada di luar radius 20 km dari puncak gunung.

Tipe kombinasi         Letusan Gunung Merapi yang sering terjadi  adalah tipe letusan kombinasi Piropilastika, yakni  letusan gunung yang memuntahkan  materi vulkanik dan awan panas yaitu kerikil maupun pasir halus, kata pakar geologi dari Universitas Pembangunan Nasional ’Veteran’ Yogyakarta Sari Bahagiarti, di Yogyakarta, Sabtu.       Diminta komentarnya tentang letusan Merapi, ia mengatakan letusan Gunung Merapi kali ini hampir sama dengan letusan pada 1930. "Berdasarkan catatan sejarah di tata dasar gunung api, letusan pada 1930 merupakan letusan yang paling besar yang menewaskan 300 jiwa dengan jarak luncur awan panas atau ’wedus gembel’ mencapai 12 kilometer dan itu merupakan jarak luncur paling jauh," katanya.       Menurut dia, aktivitas Gunung Merapi saat ini sangat aneh dan sulit untuk diprediksi kemana arahnya, namun yang  jelas arah luncur awan panas menyesuikan dengan jalurnya yakni pada alur lembah. Ia mengatakan  aktivitas Gunung Merapi ini juga dapat mengalami kenaikan maupun penurunan sesuai dengan faktor lingkungan yang ada di sekitar Gunung tersebut.

"Jika letusan menurun, ditandai dengan jarak jangkauan awan panas menurun serta bumbungan gasnya rendah. Namun bisa juga aktivitas Gunung Merapi ini meningkat atau mencapai letusan klimaks erupsi gunung api atau yang disebut dengan letusan parosiskmal," katanya.       Menurut Sari, dengan melihat kondisi dan aktivitas Gunung Merapi yang saat ini, memungkinkan adanya ancaman letusan parosiskmal yang merupakan letusan klimaks dari gunung api.       "Letusan parosiskmal adalah letusan klimaks dari aktivitas gunung api yang akan mengeluarkan seluruh isi di dalam gunung api tersebut yang ditandai dengan magma yang keluar dari perut gunung, tekanan dan energi yang cukup tinggi di sekitar gunung tersebut dan diikuti dengan longsoran bagian gunung api tersebut," katanya.       Sementara itu, Sari juga mengatakan jika sebagian besar gunung api di Indonesia berada pada satu kawasan tata tektona yang sama sehingga mempengaruhi keaktifan antargunung api.       "Jika salah satu gunung api ada yang aktif maka akan mempengaruhi gunung api lainnya juga akan aktif, karena kondisi gunung api di Indonesia berada di tata kawasan tektona yang sama," katanya.       Namun, ia berharap dan menghimbau kepada masyarakat, khususnnya masyarakat di Yogyakarta untuk tetap menjauh dari kawasan puncak Gunung Merapi sesuai dengan komando dari pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait.

"Bagi masyarakat Yogyakarta, agar menjauh dari kawasan Gunung Merapi, sesuai dengan kententuan zona daerah aman yang telah di tentukan," katanya.       Ia mengatakan aktivitas Gunung Merapi  berbeda dengan aktivitas gunung api lainnya di Indonesia. "Aktivitas Gunung Merapi ini tergolong unik dan menarik, maka sejumlah peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti gunung yang terletak di antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah ini," katanya.       Sari juga mengatakan sebenarnya perkembangan aktivitas Gunung api juga dapat dianalisa dengan visual dan juga telah ada alat yang didesain khusus untuk mengamati dan mengetahui perkembanganya. Saat ini alat sudah tersedia, negara-negara maju sudah memproduksi alat tersebut, hanya untuk di Indonesia mungkin keterbatasan SDM dan alat, karena saat ini jumlah peneliti kegunungapian sangat terbatas," katanya.      Jauhi bantaran sungai       Warga di bantaran sungai diimbau mematuhi instruksi untuk menghindar sejauh 300 meter dari sungai, karena ancaman lahar dingin Merapi hingga kini masih besar.       "Meskipun beberapa sungai yang teraliri material lahar dingin Merapi masih tergolong kecil, warga diminta tetap waspada," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono, di Yogyakarta, Sabtu.       "Aktivitas Gunung Merapi yang terpantau sejak Sabtu dini hari masih menunjukkan tingginya luncuran awan panas yang berentetan tanpa henti. Hal ini menandakan Gunung Merapi masih  berbahaya dan tetap pada status awas," katanya.       Ia mengatakan jika cuaca cerah dan air sedikit surut, bukan berarti warga diizinkan berdekatan dengan sungai, apalagi yang berhulu di Gunung Merapi. Ancaman banjir lahar dan awan panas masih belum dinyatakan berhenti dan masyarakat harus tetap waspada, termasuk saat  cuaca ekstrem seperti hujan deras.       Berdasarkan data seismik di kantor BPPTK Yogyakarta, katanya, tidak tercatat adanya gempa vulkanik sepanjang malam hingga pagi hari. "Tremor, guguran, dan awan panas masih terjadi terus menerus secara berentetan tanpa henti. Laporan dari pos pengamatan Gunung Merapi menyebutkan hingga Sabtu pagi Gunung Merapi sempat tertutup kabut. Namun suara gemuruh bisa terdengar pada jarak 20 kilometer," katanya.       Dia mengatakan semakin bertambahnya material erupsi yang mengalir ke sungai dengan hulu puncak di Gunung Merapi dan kemungkinan tingginya intensitas hujan di sekitar Gunung Merapi, maka merupakan faktor yang menjadikan potensi banjir lahar memungkinkan terus terjadi.

Ia meminta warga mengosongkan aktivitas di alur sungai sektor tenggara, selatan, barat daya, barat, dan barat laut dalam jarak 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi, yakni Kali Woro, Kali Gendol, Kali Kuning, Kali Boyong, Kali Bedog, Kali Krasak, Kali Bebeng, Kali Sat, Kali Lamat, Kali Senowo, Kali Trising, dan Kali Apu.       Radius aman hingga kini masih ditetapkan sejauh 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi. "Paling penting saat ini adalah masyarakat tetap mematuhi instruksi, katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com