Di sebuah senja menjelang gerimis di tahun 2006, mendadak serombongan mahasiswa minta berteduh di kediamannya. Oom Piet, instruktur rombongan itu, ternyata sudah lama kenal Simbah, tapi begitu lama tak muncul di sana.
Mbah Maridjan spontan mengambil peci dan mengajak tamunya masuk ke rumah inti, limasan kecil di belakang bangunan joglo. Dan teh panas pun dihidangkan. ”Kebutuhan orang itu, ya, ’rasa kekurangan’ itu,” katanya, mendadak berkomentar tentang bencana banjir dan longsor di mana-mana akibat ulah manusia. ”Meski diberi sebanyak apa pun, manusia akan merasa kekurangan karena kekurangan itulah kebutuhan manusia,” kata abdi dalem keraton yang punya gelar Mas Penewu Suraksohargo itu.
Kali lain, serombongan pelancong dari Jakarta datang mencari angin di Kinahrejo. Mbah Maridjan meneror:
Selasa siang, tiga jam sebelum erupsi terjadi, Mbah Maridjan menemui utusan Ketua PB NU Hasyim Muzadi yang ingin berkunjung pada Rabu pagi. Dalam obrolannya, siang itu Mbah Maridjan berkali-kali mengungkapkan kekesalannya kepada para wartawan. Oleh sebab itu, ia selalu menolak diambil gambar oleh wartawan. ”Wartawan itu beritanya besar, tetapi sebenarnya faktanya kecil. Sedangkan kabar yang baik, mengapa justru menjadi jelek,” katanya dalam bahasa Jawa.
Ungkapan seperti itu boleh jadi menggambarkan kekecewaannya atas ruwetnya profesi dia kini sebagai juru kunci Merapi karena cara media massa membahasakannya.
Sebutlah ”pekerjaan” sebagai juru kunci adalah ”pendakian” personalnya secara spiritual. Wilayah itu tak sepenuhnya bisa diterang-jelaskan, sebagaimana pengalaman puitis pada tradisi para kawi (sastrawan). Hal yang mirip, sepintas juga, hidup pada komunitas wayang orang di Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Magelang.
Kira-kira, Mbah Maridjan itu kaget bahwa aras informasi yang masih prematur miliknya (tentang Merapi dan apa saja) mendadak menjadi sebuah konstatasi. Sebuah kepastian bahkan sering dibikin lebih menyeramkan oleh media. Dan khalayak tak jarang melanjutkannya dengan perburuan: mengerumuninya minta konfirmasi.
Inilah mengapa dalam kaitan dengan situasi kritis Merapi, Selasa siang itu, Simbah terang-terangan menolak disebut panutan.
Jadi jelas, dia menyatakan diri cara berpikirnya bukan ”jalan umum”, bukan ”rute angkutan umum”. Dia berharap setiap orang mampu menentukan sikap untuk keselamatannya sendiri dan tak ingin siapa pun hanya mengekor tindakannya. Hal ini karena setiap orang bertanggung jawab terhadap keselamatan dirinya sendiri. ”Kalau sudah merasa harus mengungsi, mengungsi saja. Jangan mengikuti orang bodoh yang tak pernah sekolah seperti saya ini,” katanya.
Baginya, Merapi adalah rumah yang harus diterima, dalam kondisi baik ataupun buruk. ”Kalau turun, nanti diomongin banyak orang. Hanya senang enaknya, tapi tak mau terima buruknya. Bagus atau buruk, ya ini rumah sendiri,” katanya.
Yang indah dan tetap ndeso, menurut kami, di hari terakhirnya itu, pagi harinya Mbah Maridjan masih mencangkul di ladang....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.