JAKARTA, KOMPAS.com -
Sementara itu, perusahaan
”Sekarang adalah saatnya untuk membuat kebijakan guna menghentikan eksploitasi air tanah,” kata Robert Delinom, peneliti utama hidrogeologi pada Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Penghentian yang dimaksud adalah merupakan jalan terakhir setelah peraturan tentang pengambilan air bawah tanah sudah ada sejak dahulu. Namun, penegakan hukumnya tidak pernah dilakukan.
Penelitian Lambok M Hutasoit, ahli hidrogeologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, di wilayah Kamal, Jakarta Utara, pada akhir 1990-an saja menunjukkan, hanya 5 persen sumur bor yang berizin. Namun, sanksi terhadap sumur bor ilegal hanya sebagian kecil saja.
”Penggunaan air bawah tanah harus dikurangi, jika bisa harus dihentikan secara total. Sebagai gantinya, kebutuhan air bersih bagi masyarakat dan industri harus dipenuhi oleh PDAM,” ujar Lambok.
Berdasarkan data terbaru hasil evaluasi dari sumur pantau di Jakarta, meliputi Kamal Muara, Sunter, Senayan, dan Jagakarsa, antara 2006 dan 2010 terjadi penurunan tanah dengan laju kecepatan 25 sampai 30 sentimeter per tahun.
Menurut Robert, jika tidak ada kebijakan untuk menghentikan eksploitasi air tanah, kondisi tersebut akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan ”meledak” dan akan menjadi persoalan yang sulit diatasi.
Kota San Francisco telah membuat komitmen Deklarasi Kota Hijau pada 2005 yang menyebutkan akan menghentikan penyedotan air tanah pada 2012.
Tentang hal itu, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Masnellyarti Hilman menyatakan, sulit bagi DKI Jakarta melarang penyedotan air tanah pada 2012, sebagaimana komitmen San Francisco. Di DKI Jakarta ada keterbatasan jaringan pipa air minum. ”Sebanyak 50 persen penduduk DKI Jakarta menggantungkan pemenuhan kebutuhan air kepada penyedotan air tanah,” ujar Masnellyarti.
Persoalan terkait penyediaan air minum oleh PDAM juga terkendala oleh terbatasnya sumber air permukaan.
Lambok mengusulkan, ”Untuk PDAM, sebaiknya hanya fokus memanfaatkan air permukaan itu untuk masyarakat kelas menengah bawah. Sedangkan untuk kelompok menengah atas, industri, hotel, dan apartemen dapat menggunakan sumber air laut yang diolah menjadi air bersih melalui proses desalinasi.”
”Jika PDAM mampu memenuhi kebutuhan industri, mereka tentu mau menggunakan air produksi PDAM karena mengebor air bawah tanah itu sulit,” katanya.
Biaya produksi air melalui desalinasi memang tidak murah. Namun, teknologinya sederhana. ”Jika penggunaan teknologi desalinasi dilakukan secara massal dan besar-besaran, harga air yang dihasilkannya tidak akan mahal lagi,” ujar Lambok.
Saat ini desalinasi sudah menjadi pilihan Taman Impian Jaya Ancol. General Manager Taman Impian PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk YJ Harwanto menuturkan, ”Pengolahan air laut untuk air minum menjadi model solusi menghentikan pengambilan air tanah di Jakarta.”
”Jika seluruh kebutuhan air minum hanya boleh dicukupi dengan air permukaan, berarti kita akan mengandalkan air sungai. Sungai di Indonesia begitu tercemar, hanya memenuhi kriteria mutu air kelas III dan IV. Padahal, bahan baku air minum seharusnya air permukaan kelas I,” kata Masnellyart
Saat ini PT Pembangunan Jaya Ancol sedang mengembangkan teknologi desalinasi air laut untuk memproduksi air tawar sebanyak 5.000 meter kubik per hari. Investasi yang dibutuhkan mencapai Rp 53 miliar.
Nilai produksinya mencapai Rp 9.000 per meter kubik. Menurut Harwanto, ini lebih rendah jika dibandingkan harga air dari PDAM Jakarta saat ini.
Tarif air bersih dari PDAM untuk kelas komersial dan industri mencapai Rp 12.000 hingga Rp 15.000 per meter kubik. ”Itu pun masih belum bisa memenuhi kebutuhan Ancol yang mencapai 15.000 meter kubik per hari. Yang bisa dipenuhi saat ini hanya 9.000 meter kubik per hari,” kata Harwanto.
Apabila usulan desalinasi dianggap tidak ekonomis, menurut Lambok, pemerintah dapat membangun waduk besar untuk menampung air hujan dari Bogor. Air dari curah hujan yang tinggi seharusnya bisa dimanfaatkan guna menambah cadangan air baku ataupun simpanan air bawah tanah.
Selain waduk, dapat pula dilakukan pembuatan reservoir atau penampungan air bawah tanah. Lambok mencontohkan Chicago di Amerika Serikat yang memiliki reservoir dalam tanah sepanjang lebih dari 300 kilometer dan lebar 3 meter yang meliuk-liuk di bawah kotanya. Penampungan itu menjadi sumber air baku bagi warganya.
Pada 2007 pernah ada rencana membangun reservoir semacam itu di Jakarta. Terowongan sepanjang 17 kilometer dari Manggarai ke Muara Angke itu mampu menampung air hingga 30 juta meter kubik—bisa menampung luapan air sungai dan menjadi sumber air baku PDAM. Namun, proyek senilai Rp 4,4 triliun itu tidak jelas perkembangannya.
Selain itu, masyarakat bisa membantu meresapkan air permukaan dengan membuat sumur resapan di samping rumah atau gedung bertingkat. Fungsi sumur resapan jauh lebih efektif dibandingkan biopori. (MZW/NAW/ROW/RYO)