Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anomali Cuaca, Kerakusan Manusia

Kompas.com - 29/09/2010, 17:06 WIB

Aroma kematian menyeruak di mana-mana. Kendati imbalan besar disediakan buat mengurus ribuan mayat, para penggali kubur profesional yang dikirim pemerintah hanya bertahan dua hari. Para narapidana yang dikerahkan sebagai pengganti ogah-ogahan melaksanakan tugas. Tentara pun dikirim buat mengatasi keadaan. Teluk Bengali berubah menjadi tempat kremasi raksasa.

Skenario tamak

India dan Indonesia sami mawon. Ular kobra menggigit tidak hanya sekali. Rentetan bencana datang beruntun silih berganti. Bencana banjir di Trenggalek dan Tulungagung, ambruknya kawasan perkebunan di perbukitan Ciwidey Bandung Selatan, Tawangmangu, dan Sumatera Barat merupakan kombinasi bencana alam campur aduk dengan bencana birokrasi tata laksana kawasan.

Tenggelamnya kota-kota di sepanjang DAS Bengawan Solo, Ciliwung, Citarum, dan Batanghari Riau bukan akibat kemarahan alam semata. Pemanasan global, perubahan iklim, dan perubahan cuaca ekstrem penyebab curah hujan bertemu kegelojohan manusia mengubah peruntukan lahan.

Kerakusan itu tak ubahnya skenario kiamat saudagar kayu Erisychthon (baca: Er-is-ya-thon). Erisychthon merupakan legenda keserakahan dalam mitologi Yunani. Sebuah pohon istimewa yang dicintai para dewa tumbuh di ladang milik Erisychthon. Doa-doa orang beriman dikaitkan pada ranting dan cabang pohon yang sangat banyak. Roh-roh suci menari-nari di sekitar pohon yang elok dan permai itu. Erisychthon sama sekali tidak peduli dengan keistimewaan pohon itu.

Kecenderungan Erisychthon menaksir seberapa banyak kayu yang bisa dihasilkan. Pohon itu pun ditebang dengan kapak. Ia melawan semua protes yang ditujukan padanya. Semua kehidupan ilahiah yang bersemayam di pohon itu pun sirna. Dewa mengutuk keserakahan Erisychthon. Saudagar kaya raya itu didera rasa lapar tiada berkesudahan. Seluruh harta bendanya ludes untuk membeli persediaan makanan. Ia bahkan memakan istri dan anak sebelum akhirnya memangsa tubuhnya sendiri.

Legenda Erisychthon ditempatkan pada situasi kontekstual Indonesia, menunjukkan strategi kebudayaan bercorak antagonistik. Aku mengumbar ketamakanku dengan seolah-olah menyelamatkanmu. Kampanye menanam sejuta pohon hanyalah taktik kebakaran jenggot mengejar layangan putus. Bukit dikepras. Hutan digunduli. Laut direklamasi. Inilah akar masalah mengapa bangsa Indonesia bagai menahan air bah dengan sehelai jerami.

Amboi. Ayo belajar dari Nabi Nuh buat mengatasi skenario kiamat Erisychthon. Nabi Nuh, jauh sebelum air bah datang menyapu seluruh permukaan bumi, membikin kapal raksasa. Kecuali buat menyelamatkan manusia dari terjangan banjir, kapal dirancang untuk menjaga kelestarian flora dan fauna. Segala jenis tumbuhan dimasukkan ke kapal. Sepasang-sepasang segala jenis binatang melata, mamalia, dan unggas dijadikan penumpang istimewa kapal.

Nabi Nuh teladan antisipasi kehancuran. Preseden bagus perilaku visioner menyantuni generasi mendatang. Bukan perilaku jangka pendek demi keuntungan sesaat yang menurunkan derajat manusia sebagai tikus got karena tiap tahun dipaksa berenang di atas arus deras banjir.

Pengendalian diri, esensi nubuat Nabi Nuh, merupakan salah satu prinsip transformasi menuju hidup lestari dan berkelanjutan. Mekanisme kontrol agar perilaku tamak tidak berubah menjadi monster sepanjang tahun yang memangsa bangsa Indonesia sendiri.

J SUMARDIANTA Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com