ACHMAD SUNJAYADI
Sebutan nyai pada masa kolonial ditujukan kepada perempuan muda, setengah baya yang menjadi ”gundik” atau ”perempuan simpanan” orang asing, khususnya orang Eropa. Sebutan ini, menurut anggapan orang Eropa pada masa itu, setara dengan concubine, bijwijf, atau selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara.
Reggie Baay, yang sebelumnya menulis roman De Ogen van Solo (2006), dalam buku ini menelusuri akar per-nyai-an dengan menggunakan titik awal sejarah keluarganya. Baay yang ternyata cucu dari seorang nyai (Moeinah) tidak hanya menelusuri akar keluarganya, tetapi juga mewawancarai anak- anak dan cucu-cucu dari para nyai yang lain serta mengumpulkan foto-foto mereka.
Seperti kata pepatah: sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Baay tidak hanya mendapatkan informasi tentang asal-usulnya, ia juga mendapat informasi bagaimana nasib beberapa nyai tersebut sekaligus meramunya dengan sumber-sumber sejarah serta karya sastra sezaman dan modern.
Deretan karya sastra dan catatan perjalanan yang digunakan membentang dari akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, seperti Justus van Maurik, PA Daum, Victor Ido, Augusta de Wit, G Francis, Louis Couperus, Dé-Lilah, Johan Fabricius, Otto Knaap, E Du Perron, Annie Foore, H Gorter, Thérèse Hoven, J Kleian, Herman Kommer, MC Kooy-van Zeggelen, Mina Kruseman, L Székely, MH Székely-Lulofs, Bas Veth, Marie van Zeggelen, Ferdinand Wiggers, Willem Walraven, Lin Scholte. Baay juga menggunakan terjemahan karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, sebagai sumber.
Baay membagi bukunya dalam beberapa bagian. Ia membahas akar concubinat atau pergundikan sampai abad ke-19 yang merupakan konfrontasi antarras. Selanjutnya, ia mengurai hubungan antara tuan dan pelayan pribumi, pergundikan dalam dunia sipil, militer (dalam tangsi), dan perkebunan-perkebunan di Deli. Tidak ketinggalan, anak-anak Indo Eropa sebagai hasil hubungan antara tuan (baca: Eropa) dengan pelayan pribumi, hingga akhir dari pergundikan di Hindia Belanda juga dijabarkan. Baay juga meramu akibat hubungan antara para nyai dan tuannya secara psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya.
Membicarakan nyai berarti menelusuri sejarah terbentuknya status dan institusi ini dalam masyarakat kolonial di Hindia Belanda, khususnya pergeseran makna nyai dalam masyarakat. Dalam Encylopaedie Nederlandsch Indië (1919), nyahi (nyai) merupakan panggilan kehormatan untuk perempuan yang lebih tua.