Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Manusiawi Bersama Gajah

Kompas.com - 07/06/2010, 08:53 WIB

KOMPAS.com — Untuk kedua kalinya para prajurit itu menangis. Yang pertama ketika para prajurit anggota tim penggiring gajah dari Air Sugihan ke Lebong Hitam di Sumatera Selatan berhasil memindahkan 232 gajah ke tempat barunya, akhir tahun 1982. Mereka menangis lagi saat diberi penghargaan langsung oleh Presiden Soeharto di Istana.

"Mereka yang biasa memegang senapan ternyata bisa menangis. Gajah telah memanusiakan manusia," ujar mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, akhir Mei lalu di Jakarta, mengenang proyek penggiringan gajah pada 1982.

Kisah itu bermula dari telepon yang diterima Emil. "Pak, gerombolan gajah akan ditembak tentara karena akan melintasi perkampungan," lapor seseorang di seberang sana.

Sebenarnya memang bukan salah gajahnya. Rombongan gajah yang rutin ke laut untuk memenuhi kebutuhan garam tubuhnya, ketika hendak kembali ke hutan, jalurnya sudah terpotong permukiman transmigran.

Kaget mendengar kabar tersebut, hari itu juga Emil Salim menghadap Presiden Soeharto. Presiden langsung memerintahkan penghentian rencana penembakan. Kepada Emil Salim, Soeharto meminta gajah dipindahkan. "Wah, bagaimana caranya? Di dunia belum pernah ada proyek pemindahan gajah seperti itu," kenang Emil Salim.

Mengikuti proses penggiringan di lapangan, Emil terkesan kepada satwa berbadan besar itu. "Mereka berbaris teratur. Betina di depan dan di samping rombongan. Di tengah berkumpul semua anak gajah dan di belakang berbaris gajah jantan. Luar biasa, mereka seperti manusia," ujar Emil. Gajah berbaris tenang digiring dengan bunyi-bunyian dari berbagai benda yang dipukul—ini atas usul Komandan Tim Ganesha Letkol I Gusti Kompyang Manila.

Saat menyeberangi sungai selebar 60 meter, gajah-gajah dewasa berjajar di sungai membentuk jembatan. Anak-anak gajah menyeberang di atas punggung mereka. "Benar-benar ajaib," ujar Emil. Gajah-gajah itu sampai ke tujuan setelah 44 hari. Perjalanan melalui jalur sepanjang 70 kilometer itu sukses berkat kerja keras lebih dari 400 anggota tim Operasi Ganesha, dari berbagai instansi plus masyarakat transmigran.

Tidaklah mengherankan ketika gajah-gajah itu sampai ke tempat tujuan setelah 44 hari berjalan menjadi momen mengharukan. Bahkan juga bagi para prajurit penggiringnya. "Semua menangis. Ternyata kita belajar menjadi manusia dari gajah," kata Emil.

Emil mengemukakan, ketika masih anak-anak, dia mendengar dari sang ayah yang pejabat pekerjaan umum bahwa pembuatan jalur jalan selalu dibuat sejajar dengan jalur lintasan gajah. "Jalur jalan yang dibangun tidak boleh memotong jalur migrasi gajah," ujarnya. Alasannya jelas, yaitu agar habitat gajah tidak terganggu—salah satu cara konservasi adalah mempertahankan habitat—dan agar tidak terjadi insiden gajah menyerang perkampungan manusia.

Dari kisah itu kita mestinya mampu berefleksi bahwa aktivitas ekonomi di Indonesia selama ini telah mengabaikan hak hidup hewan maupun tumbuhan karena pembabatan hutan terus berlangsung. Di sisi lain, praktik seperti itu jelas berakibat langsung pada berkurangnya keanekaragaman hayati secara masif.

Pernyataan politik tidaklah memadai. Yang dibutuhkan adalah perubahan menyeluruh hingga dalam praktik. Di situ perlu ada landasan etika yang diterjemahkan dalam penegakan hukum.... (NES/ISW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau