Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meteor dan Kecintaan pada Semesta

Kompas.com - 12/05/2010, 08:39 WIB

Di Indonesia, peristiwa jatuhnya meteorit sebenarnya bukan barang baru. Catatan Lapan menunjukkan, sepanjang tujuh tahun terakhir ada beberapa kejadian meteorit, seperti di pinggir hutan Pontianak, Kalimantan Barat (2003); di lahan terbuka di Tegal, Jawa Tengah; dan di persawahan di Gianyar, Bali (2008). Sebelum kejadian Duren Sawit, yang terakhir adalah meteorit berdiameter 10 meter yang jatuh di perairan dekat Teluk Bone, Sulawesi Selatan (2009).

Sayang, sebagian meteorit yang seharusnya bisa menjadi obyek penelitian ini kurang terurus. "Yang jatuh di Bima hilang. Yang jatuh di Temanggung, Jawa Tengah, dijarah orang tinggal sepertiga," kata Hendro.

Meteorit, sebagaimana halnya fenomena langit lainnya, memang diinterpretasikan macam-macam. Di kalangan penggemar keris meteorit adalah salah satu bahan baku yang menentukan pamor berupa pola dan aura keris. Dengan teknik penempaan keris yang berbeda-beda, dihasilkan keris berpamor beras wutah yang dipercaya meningkatkan rezeki pemiliknya atau pamor ngulit semangka yang bermakna kesuburan.

"Yang paling banyak dicari adalah keris yang berpamor junjung drajat karena mempermudah naik pangkat dan pamor ujung gunung bagi yang ingin tercapai cita-citanya," tutur Harianto, penggemar keris.

Hutan di Tunguska yang sudah lebat kembali sekarang banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat herbal dengan berbagai khasiat. Ada yang disebut meningkatkan stamina, sistem kekebalan tubuh, mengurangi stres, sampai menjaga keseimbangan jiwa.

Fenomena hujan meteor juga dipercaya membawa keberuntungan bagi yang melihatnya. Tak heran bila di Barat orang segera mengucapkan keinginannya begitu melihat meteor. Orang Jawa bahkan menganggap seseorang "ketiban ndaru" bila mendapat rezeki tak terduga. Ndaru dalam bahasa Jawa berarti meteor.

Cintai semesta

Tanpa mengurangi rasa keprihatinan pada keluarga yang rumahnya tertimpa meteorit, harapan tentu tetap besar agar masyarakat tidak berubah kecintaannya mengamati berbagai peristiwa di langit. Apalagi peristiwa hujan meteor selalu menjadi atraksi tahunan karena saat be-revolusi mengitari Matahari, Bumi secara periodik juga melewati daerah reruntuhan komet.

Bulan Mei ini saja ada enam aktivitas hujan meteor mayor dan minor, mulai dari Eta Aquarids, Epsilon Aquilids, sampai Northern May Ophiouchids. Memang tak semua dapat diamati awam karena pada aktivitas minor biasanya tak banyak meteor yang muncul.

Meski demikian, masih banyak yang bisa dinikmati. Tahun 2010 paling tidak ada 11 hujan meteor utama. Sebutlah Geminid, Perseid, dan Leonid. Nama-nama tersebut menunjukkan arah kemunculan hujan meteor yang disebut radian. Bila arah radian berasal dari rasi Leo, akan disebut Leonid, demikian juga Geminid dari rasi Gemini dan Perseid dari rasi Perseus.

Kalau biasanya Leonid paling menarik karena banyak hujan meteor setiap jamnya—pernah mencapai 150.000 per jam tahun 1966—tahun ini kilatan cahaya dini hari akan didominasi Perseid karena puncak Leonid sudah lewat. Diperkirakan hujan meteor Perseid akan mencapai 60 meteor per jam tanggal 12-13 Agustus mendatang.

Dalam kondisi sekarang, mengamati fenomena alam menjadi penting karena bisa menumbuhkan kecintaan pada Bumi dan semesta. Bukankah selama ini Bumi tidak hanya terancam serbuan benda-benda langit, tetapi juga ulah manusia penghuninya?

Oleh karena itu, upaya Hendro lewat observatorium kelilingnya pantas dihargai. Dengan memahami posisi Bumi, moga-moga manusia bisa lebih menyayanginya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com