Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menaklukkan Carstensz, Luar Biasa!

Kompas.com - 30/04/2010, 08:23 WIB

KOMPAS.com — Tak banyak orang yang beruntung bisa menaklukkan Puncak Carstensz Pyramid di Pegunungan Jayawijaya, Papua, salah satu puncak tertinggi di dunia yang menjualang sampai 4.884 meter. Wartawan Kompas, Harry Susilo (Ilo), adalah salah satu yang berkesan dengan hal itu karena menyertai perjalanan Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari Wanadri.

"Menurut saya, semangat tim luar biasa. Sempat beberapa kali cuaca buruk, tetapi tim bisa dua kali mencapai puncak. Luar biasa," ujar Ilo.

Dua tim ikut dalam ekspedisi tersebut. Tim Alfa mencapai puncak pada 18 April 2010 dan Tim Bravo mencapai puncak tanggal 26 April 2010.

Tidak mudah untuk bisa mencapai puncak. Ilo menceritakan, kendala fisik dan lingkungan harus dihadapi. Selama sepuluh hari membangun tenda di Pegunungan Jayawijaya, beberapa kali tim ekspedisi didera hujan es. Alhasil, upaya untuk menaklukkan puncak beberapa kali batal. Namun, berkat kesabaran dan perhitungan matang, toh, mereka bisa melakukannya.

Proses aklimatisasi atau penyesuaian tubuh terhadap perubahan tekanan dan suhu di ketinggian juga bukan hal sepele. Setiap anggota tim rupanya memiliki daya tahan berbeda sehingga harus menentukan sendiri batas kemampuannya. Bolak-balik naik turun kudu dilakoni demi melatih tubuh sebelum menuju puncak.

"Tim Alfa saja perlu sepuluh hari proses aklimatisasi. Berangkat tanggal 8, tetapi baru sampai puncak tanggal 18," kata Ilo.

Tim Bravo menyusul delapan hari kemudian seusai perayaan Hari Bumi yang monumental di lidah es Jayawijaya. Menurut Ilo, konon luas lapisan es di sana menyusut seiring waktu. Diduga karena pemanasan global.

Buang hajat

Pengalaman lain yang tak terlupakan, menurut Ilo, adalah bagaimana bertahan sepuluh hari di ketinggian lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut itu. Tidur sudah ada tenda berikut selimut dan sleeping bag hangat. Makan pun tersedia dengan bekal makanan yang cukup. Namun, bagaimana dengan urusan pribadi macam buang hajat?

"Kami menyiasatinya, kalau buang air kecil, cari tempat yang tersembunyi, seperti di dekat tebing bebatuan. Kalau buang air besar, kami harus gali tanah dan menguruknya kembali agar tidak bau. Secara alami kan organik, jadi enggak apa-apa. Tapi, harus cari tempat yang jauh dari aliran air," kata Ilo.

Selama di atas, Ilo mengaku tak terlalu terkendala dengan kebiasaan baru tersebut yang harus dilakoni. Bahkan, dia hitung setidaknya empat kali melakukan hajat besar di sekitar Lembah Danau-Danau yang menjadi lokasi menginap.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau