Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjual Rumah demi Kesembuhan

Kompas.com - 12/02/2010, 08:10 WIB

Di klinik

Tenaga kesehatan menyebut tempat itu klinik multidrug resistant-tuberculosis (MDR-TB). Sekilas seperti ruang tunggu yang selalu ramai, termasuk siang itu, walau hujan deras mengguyur.

Di ruangan bersih, terang, dan terbuka itu tertata rapi meja konsultasi, dipan pemeriksaan, serta rak obat. Belasan kotak plastik tertumpuk di rak. Masing-masing kotak diberi stiker nama. Selain Maruwih, ada nama Soekamto (58). Kotak milik Soekamto sudah berkurang isinya, 23 butir obat jatah hari itu baru saja bersarang di lambungnya. Pria itu bercerita, ia terkena tuberkulosis sepulang naik haji tahun 2005. Dua tahun berobat di sebuah rumah sakit swasta dan tak kunjung sembuh, dia bermuara di klinik tersebut.

Di kotak lain tertulis nama Dien (22). Tuberkulosis juga ”kawan lama” Dien. Berkali-kali dia putus berobat. Obat memang gratis di puskesmas, tetapi rasa bosan minum obat dan petugas yang menyebalkan membuat dia enggan menebus obat. ”Saya merasa diperlakukan seperti pengemis obat di puskesmas,” kata Dien.

Kali ini Dien sengaja pindah kontrakan dari Grogol ke Cipinang Timur agar dekat rumah sakit. Dia sadar, tanpa program gratis itu, penghasilan suaminya sekitar Rp 1 juta sebulan sebagai kurir di penginapan tidak mencukupi.

Kotak obat milik Rokhmin yang sopir taksi, Zulkarnaen yang tukang ojek, dan nama-nama lain masih berderet rapi. ”Ada 14 peserta program MDR-TB yang sebagian besar minum obat di siang hari. Obat diberikan gratis. Obatnya termasuk mahal, sekitar Rp 2 juta per bulan per orang. Sebagian pasien termasuk tidak mampu,” ujar Ahmad Ansori Salama Putera, pegawai di klinik itu.

Di Indonesia, ada dua klinik MDR-TB, yakni di RSUP Persahabatan dan RSU Dr Soetomo, Surabaya. Klinik kerja sama rumah sakit, Global Fund, Kementerian Kesehatan, USAID, dan KNCV Tuberculosis Foundation itu beroperasi sejak beberapa bulan lalu. Spesialis paru-paru dan saluran pernapasan dari RSUP Persahabatan, Ratnawati, mencatat setidaknya ada 101 kasus MDR-TB tahun 2005-2007 terdata di tempatnya bekerja. Bahayanya, penderita dapat menularkan kuman resisten. Padahal, penanganan MDR berpuluh kali lipat lebih mahal, lama, dan efek samping obat lebih berat. Ratnawati masih mengamati perkembangan pengobatan kasus MDR. Jika pengobatan terputus atau gagal, pasien rawan masuk ke tahap extensively drug resistant tuberculosis (XDR-TB) dan belum ada obat yang direkomendasikan untuk membunuh kuman XDR-TB.

Beberapa bulan pengobatan berlangsung, rasa bosan dan lelah menggoda. Apalagi efek obat tidak menyenangkan, seperti mual, pusing, dan berpengaruh pada emosi. Namun, mereka bertekad terus berobat.

Hujan mulai reda. Satu per satu pengunjung klinik pun pamit pulang. Masih ada ratusan kunjungan lagi yang memisahkan mereka dengan kesembuhan. (INE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau