JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik Yudi Latif mengatakan, penarikan dan penyensoran terhadap suatu karya intelektual, seperti buku, adalah ciri yang melekat pada rezim otoritarian dan tirani. Penarikan buku juga menjadi salah satu indikator penting yang membedakan antara negara demokratis dan negara otoritarian.
"Penarikan buku betul-betul antitesis dari demokrasi," ujarnya, Minggu (27/12/2009) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di Indonesia, lanjutnya, penarikan buku dapat memberikan preseden buruk. Pasalnya, salah satu prestasi yang masih bisa dibanggakan dari Era Reformasi yang telah memasuki usia ke-11 adalah kebebasan berekspresi.
Terkait buku Membongkar Gurita Cikeas, Yudi meminta agar tidak ada penarikan ataupun penyensoran. "Kalau tidak setuju, tinggal kemukakan apa yang salah. Kemudian, biar publik yang akan menilai apakah buku itu memang sampah atau mengandung kadar kebenaran," katanya.
Dikatakan Yudi, jika ditarik, hal ini justru menimbulkan kecurigaan bahwa buku tersebut memang mengandung kebenaran. Saat ini pemerintah memang belum memerintahkan penarikan terhadap buku Membongkar Gurita Cikeas. Namun faktanya, masyarakat sudah tidak dapat menemukan buku tersebut di toko-toko buku.
Seperti diberitakan, buku yang akan diluncurkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2009 ini antara lain menceritakan empat yayasan SBY, yaitu Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Kepedulian dan Kesetiakawanan, Yayasan Madjelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Mutumanikam Nusantara, yang digunakan sebagai pencari dukungan politik dan dana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.