Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terus Bertahan di Tengah Gempuran Teknologi

Kompas.com - 23/12/2009, 06:03 WIB
 

KOMPAS.com - Jarum jam menunjukkan pukul 13.00, Selasa (22/12). Di sebuah kios berukuran sekitar 2 meter x 2 meter di depan Gedung Kesenian Jakarta, seorang lelaki yang mengenakan kemeja coklat dan berkacamata duduk di bangku kecil.

 

Sepotong kaca di atas pahanya. Di atas kaca menempel selembar kertas foto yang gagal cetak. Perlahan tetapi pasti, pulpen yang dipegang seorang lelaki yang kemudian mengenalkan namanya Soleh (52) itu bergerak membentuk gambar dua lonceng dan lilin berwarna merah kekuningan di atas kertas tersebut.

Di samping gambar lonceng, Soleh kemudian menulis ”Selamat Natal 2009 dan Tahun Baru 2010” di kertas yang sama. Di pojok kanan atas kertas foto tersebut ditulis kepada siapa kartu akan dikirim dan di pojok kiri bawah tertulis nama pengirim. Hanya dalam waktu 15 menit, sebuah kartu Natal diselesaikan Soleh. Selembar kartu lengkap dengan amplopnya dijual Rp 25.000 hingga Rp 30.000.

Soleh adalah satu-satunya dari 29 pelukis yang tergabung dalam Kelompok Pelukis Penulis Indah (KPPI) yang menempati deretan kios di Jalan Gedung Kesenian Jakarta.

”Sudah 15 tahun saya membuat kartu Natal seperti ini. Dulu hampir semua pelukis di sini membuat kartu seperti ini. Tetapi, sejak empat tahun lalu tinggal saya sendiri yang masih melayani pesanan,” ungkap Soleh.

Pada era 1990-an, kenang Soleh, permintaan kartu ucapan seperti yang ia buat mencapai ratusan. Namun, sekarang pesanan yang ia terima kurang dari 50 lembar.

Bermodalkan kertas film gagal cetak, pulpen tak bertinta, dan pisau tumpul yang ia modifikasi sendiri, Soleh melayani pesanan kartu Natal setiap tahun. Pada saat Lebaran ia juga membuat kartu Lebaran.

Menurunnya pesanan kartu ucapan Natal yang dilukis terjadi seiring dengan perkembangan teknologi. Sejak sekitar 10 tahun terakhir, minat orang menggunakan kartu Natal menurun dan beralih menggunakan teknologi, mulai dari pengiriman ucapan lewat penyeranta (pager) hingga layanan pesan singkat atau SMS (telepon seluler).

”Sekarang kartu kalah dengan SMS,” kata Suwito, pelukis lain yang juga Ketua KPPI menegaskan alasan para pelukis tidak lagi membuat kartu ucapan.

Menurut dia, sejak pager mulai dikenal di masyarakat sekitar tahun 1998, sebagian pengguna kartu ucapan beralih ke media tersebut. Permintaan kartu ucapan semakin berkurang setelah masyarakat mengenal media komunikasi digital lain.

Meskipun uang yang diperoleh tidak banyak, Soleh merasa senang bertahan dengan kreativitasnya. Setidaknya ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Saat ini dua dari empat anaknya masih duduk di bangku SD dan SLTP sehingga masih membutuhkan biaya besar.

Pada hari-hari biasa, ia hanya mengandalkan penghasilan dari menjual lukisan yang harganya bervariasi, seperti lukisan penggembala itik yang ia jual Rp 1,5 juta.

Meskipun demikian, tidak setiap hari ia mampu menjual lukisan serupa. Menurut Soleh, berkurangnya jumlah pelukis kartu ucapan juga karena bahan untuk membuat kartu tersebut semakin sulit diperoleh. Hal tersebut akibat semakin sedikitnya studio foto yang mencetak foto secara manual.

Meskipun media digital semakin merajai kehidupan masyarakat, Soleh berharap masih ada ruang bagi industri manual seperti yang ia lakukan. Ia bertekad akan terus mencari kertas-kertas film gagal cetak agar tetap bisa berkreasi. Karena hanya dari usaha itu pula Soleh bisa bertahan hidup bersama keluarganya.

Penjual kartu Natal

Jika Soleh bertahan dengan kartu Natal yang dilukis, di gedung Kantor Pos Jakarta Pusat juga tinggal seorang pedagang kartu Natal yang bertahan hingga kini, yakni Abdul Basyir (55).

Saat ditemui kemarin, ia tampak lesu. Selembar koyo menempel di pelipis kiri. ”Bapak sakit kepala sejak beberapa hari ini,” ujar istrinya, Muryati (52).

Di sebuah rak dekat mereka, tergeletak sekitar 12.000 kartu Natal.

Sejak awal Desember lalu, pasangan suami istri ini hanya mampu menjual sekitar 1.000 lembar kartu. Tahun sebelumnya kartu mereka laku lebih dari 2.000 lembar. Harga kartu bervariasi, Rp 1.000-Rp 4.000 per lembar.

Keduanya bercerita, pelanggan kartu Natal sebagian besar orang yang sudah tua, sekitar 50 tahun ke atas.

Abdul Basyir mengakui, sejak ada telepon seluler dengan SMS, kartu Natal tidak lagi diminati. Bahkan, saat ini orang menggandrungi media internet, seperti jejaring sosial Facebook dan layanan microblogging seperti Twitter.

Meski kian tergerus, dia menolak minggir. Ia akan terus berjualan kartu.

Efisiensi sering menjadi latar belakang pemilihan layanan pesan singkat ketimbang kartu Natal. Misalnya Cindy Silviana Sukma, seorang mahasiswi di Jakarta, yang beralasan bisa lebih cepat diterima kerabat dan harganya lebih murah.

”Generasi muda sekarang sudah tidak romantis lagi,” ujar pelukis Suwito di kawasan Pasar Baru mengomentari perubahan generasi yang mulai meninggalkan kartu Natal. (ACI/ELD/HEI/WIE/WSI/YOP)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com