Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Iklim Kian Nyata

Kompas.com - 21/12/2009, 06:14 WIB

”Tidak benar bahwa akan ada perluasan perkebunan kelapa sawit. Dengan luasan 7 juta hektar saja kebun kelapa sawit kita sudah yang terluas,” ujar Agus Purnomo.

”Angka dari mana itu? Dalam dokumen pemerintah sejauh ini hal itu tidak ada. Kalau ada, akan kami koreksi,” katanya.

Berdikari

Menurut Henry dan juga Riza, pada masa mendatang, guna mengurangi emisi Indonesia dan untuk menolong situasi global, peran negara secara nasional harus diperbesar dan Indonesia harus berdikari.

Di sektor pertanian, Indonesia lebih baik mengembangkan pertanian berbasis keluarga daripada terseret pada arus dunia yang cenderung pada industri pertanian. Menurut Henry, emisi sektor pertanian—dari seluruh prosesnya, dari transportasi, industri pestisida, dan sebagainya— emisi gas rumah kacanya mencapai 47-57 persen dari emisi total.

”Jika dijadikan industri, di sana sudah ada korporasi besar pertanian yang akan memasok GMO. Ini tidak mengurangi emisi. Hasilnya juga untuk ekspor yang berarti membutuhkan transportasi, yang berarti emisi,” katanya.

Dengan pertanian berbasis keluarga, tambahnya, industri pupuk berkurang karena dipakai pupuk organik, sementara hasil pertanian adalah untuk pasar lokal, bukan internasional. ”Ini jauh lebih efektif untuk mengurangi pemanasan global,” ujarnya. Sepuluh tahun terakhir musim kemarau sudah sekitar delapan bulan dari biasanya enam bulan.

Riza menegaskan, Indonesia ke depan harus berdikari dengan berfokus pada pemantapan industri nasional, termasuk tata kelola sumber daya alam, memperbesar perlindungan terhadap masyarakat rentan, seperti nelayan, dengan menerbitkan informasi cuaca secara berkelanjutan dan terjangkau oleh nelayan, serta menerbitkan pula asuransi (iklim) secara cuma-cuma sebagai bentuk apresiasi dan motivasi kepada nelayan kita untuk terus melaut.

Menurut Riza, seperti diungkapkan Henry, ”Indonesia tidak bisa serta-merta mengikuti arus perdagangan global dengan mengirim barang mentah untuk keperluan industri di negara maju.” ”Yang harus diperkuat adalah industri dalam negeri,” katanya.

Di sektor kelautan, tutur Riza, pemerintah harus menyadari, dampak perubahan iklim sudah berdampak terhadap nelayan, antara lain dengan berkurangnya jumlah nelayan dari sekitar 4 juta orang tahun 2003 tinggal sekitar 3 juta orang pada 2008. Selain itu, abrasi dan banjir juga menjadi-jadi.

Sisi pendapatan nelayan kini turun 50 persen. Dari penelitian di Tarakan (Kalimantan Timur), Wakatobi (Sulawesi Tengah), dan Teluk Jakarta, ”Dalam lima tahun terakhir tangkapan ikan rata-rata turun dari 100 kilogram per dua orang per trip turun menjadi 40-50 kilogram per dua orang per trip. Pendapatan turun dari Rp 300.000 per dua orang per trip menjadi Rp 150.000 per dua orang per trip,” ujar Riza. Kini ikan dari perikanan tangkap dibandingkan dengan perikanan budidaya nyaris 50:50. ”Dulu padahal 80 persen dari perikanan tangkap,” ucapnya.

Akibat iklim ekstrem dan semakin sedikitnya sumber daya ikan akibat pemanasan global, ”Wanita jadi harus ikut kerja menjadi pengupas kerang atau kerja lain,” ujarnya.

Henry dan Riza sepakat, pada Pertemuan Para Pihak Ke-16 Konferensi Perubahan Iklim PBB di Meksiko tahun depan, ”Indonesia harus menggalang koalisi dengan negara-negara berkembang untuk menghadapi negara-negara industri dengan lebih mengembangkan industri lokal.” (Brigitta Isworo Laksmi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com