Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika "Pranata Mangsa" Tak Lagi Bisa Dibaca...

Kompas.com - 10/11/2009, 10:55 WIB

KOMPAS.com — Tak perlu jauh-jauh melihat dampak perubahan iklim hingga ke Kutub Utara. Di sekitar kita, para petani dan nelayan dilanda kegalauan, bagaimana musim bisa dibaca...

Mashadi, seorang petani asal Desa Pandan Sari, Brebes, Jawa Tengah, bertutur bagaimana "rontoknya" pembacaan musim yang diterapkan secara turun-temurun. Pranata mangsa, namanya (dibaca pranoto mongso).

Pranata mangsa, jika dialih bahasa dalam bahasa Indonesia berarti penentuan musim. Bagi masyarakat Jawa, pranata mangsa merupakan penanggalan yang berkaitan dengan musim, khususnya dari kalangan petani dan nelayan.

"Orangtua kami sejak dulu bilang, jangan terjebak bulan berdasar Masehi. Kalau belum masuk mongso kanem, belum akan masuk musim hujan. Tapi sekarang, susah juga ditebak, kapan musim hujan datang," ujar Mashadi saat dijumpai Kompas.com pada sarasehan perubahan iklim, beberapa waktu lalu.

Mongso kanem merupakan musim ketika para petani mulai menanam. Konon, jika menanam pada musim ini akan selamat hingga musim panen. Akan tetapi, perubahan musim yang sangat ekstrem mengakibatkan perkiraan munculnya bintang waluku atau rasi bintang Orion, yang menjadi patokan penentuan musim, sering meleset.

"Biasanya efektif pakai pranata mangsa dan palintangan (perbintangan) atau ilmu titen. Apalagi, kalau ada studi iklim, mungkin bisa dipadukan. Benar enggak sih, perkiraan yang dibuat masyarakat berdasar pranata mangsa seperti ini? Saya sangat berharap seperti itu. Ayolah, ini masalah kita bersama. Mungkin akan lebih baik kalau perkiraan pranata mangsa dan informasi BMG (BMKG) disinkronkan," ujar Mashadi.

Lebih jauh ia mengisahkan, di wilayah Brebes, khususnya di desa Pandan Sari, sulitnya menentukan musim bukan satu-satunya masalah yang mengakibatkan petani sering gagal panen. Rob yang kerap melanda turut menjadi biang kegagalan. Jarak permukiman dengan bibir pantai, yang tadinya sekitar 2 kilometer, kini hanya berjarak tak lebih dari 500 meter. Mendekatnya bibir pantai ke daratan merupakan salah satu dampak perubahan iklim, akibat penambahan volume air laut.

"Dalam 5 tahun terakhir, air laut semakin dekat. Begitu datang rob di bulan 12 atau bulan 5, gelombang tinggi sampai menggenangi jalan bahkan sampai selutut. Air rob ini juga sampai masuk ke areal persawahan, bagaimana tidak gagal?" ujarnya.

Air laut yang masuk ke pori-pori tanah turut memengaruhi kesuburan. Akibatnya, hasil panen pun mengalami penurunan. Daerah yang berada dekat dengan sungai, menurut Mashadi, bernasib lebih mujur. Sebab, daerah itu masih bisa mendapatkan suplai air tawar. Sebagai solusi, ia dan para petani dari Tasikmalaya saling bertukar varietas padi. Varietas tersebut merupakan varietas tadas alias tahan dampak air asin.

"Awalnya juga gagal total karena kadar garam tinggi di tanah sehingga membutuhkan campuran dengan pupuk kandang," papar Mashadi.

Pendamping Sekolah Lapang Iklim (SLI), Raja Siregar, mengungkapkan bahwa sosialisasi dampak perubahan iklim kepada para petani tak cukup hanya dengan memberikan informasi. Adaptasi secara simultan terhadap pola tanam juga perlu digalakkan.

"Petani juga perlu disosialisasi untuk mengubah pola tanam, dan adaptasi ini harus dilakukan secara berkelompok. Kalau tidak, susah juga. Perubahan iklim ini membuat petani bingung, kapan awal musim hujan," kata Raja.

Saat ini, SLI sudah terdapat di 6 lokasi yang tersebar di 3 provinsi. Awalnya, SLI dijalankan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sekolah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan petani mengenai iklim dan menggunakannya untuk mendukung kegiatan pertanian mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com