Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Heny Yudea, Rujukan Jamu Tradisional

Kompas.com - 30/09/2009, 00:48 WIB

Sejak tiga tahun terakhir hasil panen tanaman obat tradisional dari wilayah binaan Lessan telah diekspor ke Austria. Meskipun skala ekspornya masih kecil, 2 ton per tahun, seluruh tahapan ekspor diterangkan ke petani secara transparan sehingga mereka belajar tentang konsep perdagangan yang adil. Tawaran ekspansi ekspor jamu tradisional telah mulai berdatangan dari berbagai negara, termasuk dari Jepang.

Heny mengakui, warga di kelompok binaan lembaganya belum sanggup memproduksi dalam jumlah massal dengan tuntutan standar kualitas tinggi. Apalagi, mereka menghindari sistem pertanaman monokultur yang justru akan merusak keseimbangan alam. Pertanaman obat tradisional terus dipertahankan dengan menggunakan sistem tumpang sari.

Lembaga tersebut telah membuka empat klinik pengobatan tradisional di lereng Merapi. Awalnya klinik ini sempat dicurigai oleh masyarakat sebagai tempat praktik ”dukun tiban”.

Di sela saling membagi ilmu kesehatan tradisional, Lessan juga memperkuat pengorganisasian masyarakat di 13 dusun yang dibina. Anak muda dari berbagai negara, seperti dari Kanada, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Belgia, Australia, dan Jepang yang datang untuk belajar ke Lessan pun selalu diajak belajar dari warga di dusun-dusun tersebut.

Umumnya mereka itu dikirim oleh lembaga pendidikan atau organisasi untuk penulisan skripsi maupun karya tulis. Di Jerman bahkan telah terbentuk kelompok anak muda yang menamakan diri sebagai ”Sahabat Lessan”.

Menolak bantuan

Heny berulang kali menegaskan bahwa kerja bertahun-tahun yang dirintisnya sepenuhnya merupakan kerja kelompok. Namun, ibu satu anak ini menolak berbincang lebih jauh tentang seluk-beluk kehidupan pribadi, termasuk riwayat pendidikannya. Baginya, berbincang tentang pelestarian obat tradisional tidak bisa menonjolkan peran satu orang. ”Ini karya masyarakat, kami hanya mengumpulkan resep dari mereka,” ungkapnya.

Heny yang selalu enggan menonjolkan diri ini mengaku ingin membawa Lessan menjadi lembaga kecil, tetapi berkualitas. Beberapa kali Lessan menolak pendanaan dalam jumlah yang dinilai terlalu besar yang diberikan oleh lembaga dari luar negeri. Dana yang ditolak itu antara lain berupa bantuan hibah senilai Rp 500 juta per enam bulan.

Sejak berdiri pada tahun 1990 Lessan memperoleh dana hibah dari TdH Jerman. Lembaga itu juga menghidupi dirinya sendiri dari bagi hasil ekspor jamu tradisional serta penjualan padi organik dari lahan seluas 1.500 meter persegi. ”Jika terlalu banyak dana, takutnya nanti kami malah ngiler melihat tumpukan uang. Kami tidak ingin bergantung pada funding. Ini kekayaan negara kita, jadi harus kita yang pegang kendali,” kata Heny.

Bagi orang-orang seperti mereka, uang memang bukan tujuan utama. Heny mengatakan, seluruh kerja kerasnya terbayar ketika warga mulai mau kembali ke obat-obatan tradisional dan bisa mendapat kesembuhan. Di Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, seorang warga desa yang telah menjual satu sapi untuk pengobatan sakit migren justru sembuh setelah mengonsumsi ramuan tradisional.

Lessan sendiri lahir dari keprihatinan terhadap kesulitan masyarakat pedesaan untuk mengakses obat kimia. Apalagi, harga obat semakin mahal dan tidak ramah lingkungan. Bersama tujuh orang anggota timnya, Lessan terus berupaya memandirikan masyarakat dengan obat sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa setiap penyakit pasti dilengkapi dengan obat-obatan yang tumbuh di sekitarnya.


Biodata

• Nama: Heny Yudea
• Lahir: Karanganyar, 9 November 1971
• Penghargaan: Salah satu dari 1.000 Perempuan Perdamaian Dunia 2005
• Jabatan: Pendiri dan Ketua Yayasan Lessan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau