Mangase Taon menjadi upacara yang sangat simbolis bagi komitmen Pemkab Samosir mengedepankan pendekatan budaya dan lingkungan hidup dalam membangun wilayah di tengah Danau Toba tersebut. Di hadapan ribuan warga dan semua Raja Bius di Samosir, Mangindar atas nama Pemkab Samosir berjanji akan menggunakan kearifan lokal dalam membangun wilayahnya. ”Ini sebagai wujud agar masyarakat lebih bisa mengambil peran,” katanya.
Batu Hobon dipilih karena kesakralan dan nilainya dalam budaya Batak. Komitmen atau janji yang terucap di Batu Hobon, apalagi disertai ritual Mangalahat Horbo Bius atau memberi persembahan kerbau untuk Mulajadi Nabolon (Sang Kuasa), harus ditepati. ”Salah-salah, orang yang main-main dengan ritual ini bisa kehilangan nyawanya,” ujar Alimantua Limbong, penabuh gondang dalam ritual tersebut.
Alimantua menuturkan, budaya dan tradisi lokal Batak sangat dekat dengan alam. Dia pun menghargai jika memang pemerintah daerahnya berniat menjadikan budaya sebagai pegangan membangun wilayah. ”Dari acara yang digelar di Batu Hobon saja sudah menggambarkan penghormatan terhadap situs budaya,” katanya.
Bentuk nyata strategi kolaboratif pengelolaan lingkungan di Samosir adalah upaya merevitalisasi budaya Batak dan kearifan lokal. Mangindar mengakui, kearifan lokal dalam budaya Batak sempat terkikis sejak abad ke-18, bersamaan dengan masuknya pengaruh agama Kristen ke pedalaman Tapanuli.
Menurut Mangindar, sempat ada persepsi yang salah terhadap kepercayaan lokal. Dia mencontohkan, dahulu di Samosir banyak terdapat situs budaya yang dikelilingi pepohonan rimbun. ”Kepercayaan dulu mengatakan, pohon-pohon tersebut ada penunggunya sehingga orang tak mau mengganggu. Padahal, kalau direnungkan, itu kearifan lokal agar kita tak menebang pohon-pohon tersebut. Namun, karena ada persepsi yang salah dari agama baru yang masuk, kearifan tersebut dianggap sebagai penyembahan selain Tuhan sehingga pepohonan itu harus ditebang,” ujar Mangindar.
Persepsi salah
Persepsi yang salah terhadap kearifan lokal tersebut, menurut Mangindar, harus dibayar mahal. ”Sekarang pohon-pohon endemis di Samosir yang dipercaya sebagai pepohonan khas bagi orang Batak sudah tak banyak lagi,” katanya.
Jauh sebelum pemerintah mencanangkan program ”satu orang satu pohon”, makna penting menanam pohon bagi masyarakat Batak tertanam sangat dalam di kehidupan mereka. ”Setiap kali orang Batak membuka kampung untuk pertama kali, bambu dan pohon beringin harus ikut ditanam. Pohon beringin bahkan harus ditanam di setiap sudut kampung. Itulah pohon yang menjaga kehidupan kampung kami dulu,” tutur Mangindar.
Hal itulah yang ingin kembali dihidupkan Pemkab Samosir. Menjaga kelestarian ekosistem Danau Toba, terlebih di daerah tangkapan air seperti di sebagian besar wilayah Kabupaten Samosir, dengan pendekatan budaya. Demi menggunakan kearifan lokal untuk melakukan konservasi kawasan ekosistem Danau Toba, Pemkab Samosir berani menolak investasi industri besar-besaran di kabupaten tersebut.
Padahal, tak jauh dari Samosir, di kabupaten tetangga seperti Humbang Hasundutan atau Simalungun, ribuan hektar hutan yang dulu menjadi gantungan hidup masyarakat kini berubah menjadi hutan produksi dengan jenis tanaman homogen eucalyptus untuk kepentingan pabrik bubur kertas. Pabrik ini berdiri megah di hulu Sungai Asahan yang bermuara langsung ke Danau Toba di kawasan Kabupaten Toba Samosir.